top of page

PERTOBATAN KRISTIANI MENURUT ST. BONAVENTURA*


PERTOBATAN KRISTIANI DARI PERSPEKTIF ITINERARIUM MENTIS IN DEUM

Locus asli manusia: in Deum

Teologi Bonaventura memberi tekanan pada status manusia di dalam Tuhan (in Deum). Itulah locus asli (original state) manusia. Meskipun status tersebut pernah retak oleh dosa manusia, namun telah dimurnikan kembali berkat kesetiaan Allah. Kata Itinerarium menggarisbawahi aspek ‘eksodus’ dari pihak manusia: berjalan keluar dari status dosa (in via) untuk kembali bersatu dengan Penciptanya (in patria). Manusia bukan subjek pasif, melainkan makhluk peziarah (homo viator). Hidupnya di dunia merupakan ‘jalan kembali’ menuju kesatuan dengan sang Pencipta.


Desiderium

Bonaventura meyakini bahwa dalam diri manusia terpatri hasrat /kerinduan (desiderium) akan Allah. Namun kerinduan itu bukan jalan bebas hambatan menuju kesucian, melainkan proses yang hendak diupayakan dengan tekun. Bonaventura mengawali refleksinya dengan kata-kata yang menyentuh hati: “Incipit speculatio pauperis in deserto” (mulailah spekulasi si miskin di padang gurun) [I, 1]. Kata ‘speculum’ (cermin) menjelaskan bahwa selama masih dalam ziarah, pandangan manusia akan Allah bersifat terbatas, bagaikan melihat bayang-bayang di balik cermin.

Apa yang Bonaventura mohon dalam kontemplasinya di La verna? Terinspirasi oleh pengalaman stigmata Fransiskus, ia memohon damai (pacem), teristimewa damai batiniah (pacem spiritus), yaitu damai yang mendorong jiwa manusia terarah kepada Tuhan (P, 2). Damai batiniah datang dari terang ilahi, yaitu terang yang “menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut” (Luk. 1: 79) [P, 1].

Dalam lubuk hatinya semua manusia merindukan kebahagiaan, bahkan mendambakkan yang lebih sempurna. Pada saat-saat di mana tampaknya ada rasa bahagia, nyatanya manusia belum juga merasa puas. Selalu ada kerinduan mendapat kebahagiaan yang lebih besar. Bonaventura menempatkan situasi ini sebagai kerinduan (desiderium) akan Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum). Baginya “kebahagiaan, tidak lain dan tidak bukan, berarti berkanjang dalam Kebaikan Tertinggi” (I, 1), yaitu Allah sendiri.


Dengan kata lain, ziarah jiwa manusia mendapatkan maknanya yang utuh ketika itu ditempatkan dalam iman akan kerahiman Allah yang tidak terbatas. Dengan mengandalkan kekuatanya semata-mata, manusia itu rapuh. Ia bagaikan si miskin (pauperis) yang mengemis makna. Mutiara makna hidupnya baru ia temukan dalam Allah. Bonaventura merenungkan bahwa manusia melihat dirinya dengan lebih jelas di dalam Allah, bukan di dalam dirinya. Sebab Allah menyambut manusia secara utuh, sebagaimana adanya dia.


Paradoks Manusia

Di satu pihak: Manusia (mikrokosmos) dianugerahi kemampuan mengontemplasikan [memandang dan merenungkan] alam semesta (makrokosmos) [I, 5]. Manusia adalah mata dunia yang terbuka di hadapan Allah: Seluruh semesta seakan-akan dapat diserap oleh matanya, terkonsentrasi dalam pupilnya, jika tidak terhalang.


Sebagai mikrokosmos (minor mundus) manusia adalah makhluk terindah dari segenap ciptaan: “Tidak diragukan bahwa kita adalah puncak dari penciptaan” [Brevil. II, 4 (V, 222a)]. Bonaventura melukiskan keindahan manusia dalam rasa kagumnya akan daya ingatan/memori, intelek dan kehendak (memoria-intellectus-voluntas).


Aktivitas memori mencakup aspek pembedaan roh (discernment), yaitu menimbang variasi pengetahuan dan informasi, agar hal-hal yang diingat itu bermakna dan bermanfaat. Melalui daya intelek kita dapat memahami sesuatu. Fungsi itu mengandaikan adanya sebuah ‘ratio aeterna’ dalam diri kita. Manusia dapat menghendaki kebaikan karena ia diterangi oleh Kebaikan Tertinggi, yang merupakan horizon terjauh setiap pilihan baik manusia. Suatu pilihan bersifat baik karena ia terarah kepada yang terbaik.


Bonaventura menulis: “Betapa dekatnya jiwa manusia dengan Allah oleh karena anugerah istimewa yang dimilikinya: memori mengantisipasi pengetahuan yang kekal, inteligensi terarah kepada pencarian kebenaran abadi, dan kehendak yang memantulkan Kebaikan Tertinggi”, yaitu Kasih tak terbatas (III, 4). Tiga kemampuan tersebut menganalogikan ratio triadik dalam diri manusia. Analogi tersebut mendukung kebenaran iman tentang manusia: Allah Trinitas menampakkan wajah-Nya dalam diri manusia (III, 1). Bonaventura meyakini bahwa manusia adalah makhluk ‘berkapasitas ilahi’ (capax Dei). Dalam diri manusia terdapat kemampuan untuk berpatisipasi dalam Allah” (II Sent., d. 27, dub. 1, resp. [II, 670A]).


Di lain pihak: Semakin dalam manusia menyelami dirinya, semakin jelas pula ia dan menyadari keterbatasannya. Menurut Bonaventura, titik berangkat kesadaran akan pertobatan kristiani ialah paradoks dalam diri manusia: Di satu pihak Allah telah menampakkan wajah-Nya dalam diri manusia, namun di lain pihak banyak orang tidak menemukan kehadiran Tuhan dalam diri mereka. Memori, inteligensi dan kehendak manusia sering kali condong kepada hal-hal fana, sehingga jiwanya tidak terarah kepada sang Terang. Secara tajam Bonaventura mengibaratkan dosa dengan sikap orang yang membungkuk dan membelakangi (incurvatus) cahaya sehingga ia terkurung dalam gelap (I, 7). Dalam kegelapan dosa manusia tidak lagi menampakkan rupa citra Allah (IV, 1).


Bonaventura menulis: “Karena manusia telah menjauhkan diri dari Terang yang sesungguhnya dan berpaling kepada harta fana, dan oleh karena kesalahannya sendiri ia telah memperlihatkan punggungnya; sejak dosa asal yang diwariskan kepada semua umat manusia, martabat manusia telah dinodai kebodohan dan keinginan daging; manusia sesungghnya telah menjadi buta dan membungkuk sampai ke tanah, tertelungkup dalam gelap. Ia tidak dapat menatap terang surgawi, kecuali jika rahmat dan keadilan mengalahkan kedagingannya, dan pengetahuan serta kebijakasanaan menghalau kebodohannya” (I, 7).


Christus Medium

Bonaventura mengingatkan bahwa dosa berarti ‘memunggungi’ sang Terang, sumber keindahan martabat kita. Jiwa manusia yang telah jatuh dalam dosa tidak dapat bangun kembali jika tidak segera ditopang oleh seorang penolong. Bonaventura melukiskan bahwa penolong jiwa pendosa ialah sang Kebenaran Abadi yang telah menjelma dalam diri Yesus Kristus, Adam baru, Pintu masuk Keselamatan: “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh. 10: 9). Dengan melewati pintu tersebut ia akan menemukan kembali Kebenaran Abadi, yaitu Pohon Kehidupan di tengah-tengah Firdaus (IV, 2).


Misteri salib memerlihatkan bahwa kasih Allah adalah kasih penuh kerendahan hati. Pada salib nyatalah totalitas kasih Allah: Putera Allah diserahkan ke dalam tangan manusia. Allah, sang Ada sempurna, sang Kebaikan Tertinggi, menjelmah menjadi manusia; Ia memilih ‘jalan turun’, menjadi salah seorang di antara kita.


Bonaventura merenungkan bahwa misteri salib, yaitu misteri ‘jalan turun’, merupakan jalan yang sangat tersembunyi (secretissimum). Jalan itu “tidak dikenal siapapun selain orang yang menerimanya; tidak diterima siapapun selain orang yang merindukannya; dan tidak dirindukan siapapun selain orang yang dikobarkan oleh Roh Kudus yang diberikan Kristus kepada dunia” (VII, 1). Dan, kepada setiap orang yang memandang salib penuh kerinduan, Yesus yang tersalib menjanjikan hidup baru penuh suka cita dan harapan: “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23: 43) [VII, 2-3].


Dalam Breviloquium, Bonaventura menggambarkan misteri Inkarnasi Kristus sebagai sebuah status baru dalam sejarah penciptaan: Melalui Kristus (Christus Medium), modus dosa yang telah menggerogoti martabat manusia diubah menjadi modus rahmat. Dalam Kristus manusia peziarah dibaharui menjadi ciptaan baru (Brevil. Part. IV [V, 243ii]).


Logika salib adalah logika kehidupan baru: Sang Cinta sendiri rela menjadi manusia, merentangkan tangan-Nya di kayu salib untuk merangkul manusia dalam kasih. Dalam kematian Tuhan, manusia pendosa menemukan kunci kehidupan. Salib Kristus yang tampak sebagai wajah penderitaan justru memancarkan cahaya kehidupan. Misteri salib mengungkapkan bahwa Allah mencintai kita bukan atas jasa kita melainkan karena Dia sendiri adalah Kasih.


Kristus adalah keindahan sempurna kebijaksanaan ilahi, dan karena itu merupakan buah sulung ciptaan. Segenap ciptaan mengambil bagian dalam keindahan-Nya. Di dalam Kristus manusia menemukan keotentikannya sebagai citra Allah, sebab Ia mewahyukan rahasia kasih Allah, yaitu kasih penuh kerendahan hati. Bagaimana orang dapat sampai pada kebijaksanaan tersebut? “Tidak ada jalan lain yang menghantar kita kepada kebijaksanaan kecuali kasih yang berkobar-kobar akan salib” (P. 2). Sebab hanya ada satu Guru Kebijaksanaan: Christus unus omnium magister (Chr. Unus. 15, 17 [V, 571b-572a]).


Salib Kristus memancarkan totalitas kasih Allah, yaitu kasih penuh kerendahan hati: “Begitu besar kasih itu sehingga akal budi pun terdiam” (Hexaёm., VIII, 5 [V, 370a]). Dalam Soliloquium, Bonaventura melukiskan dengan indah kerahiman ilahi yang terpancar dari salib: “Dari salib Kristus menantikanmu, kepalanya tertunduk hendak menciummu, lengan-lengannya terentang hendak memelukmu, tangan-tangannya terbuka menyambutmu, tubuhnya terkulai pasrah seutuhnya, kaki-kakinya terpaku menanti dengan diam, bahu-bahunya terbuka menyambut kedatanganmu” (Solil. I, 33-34 [VIII, 39b-40a]).


Meditasi salib tersebut menegaskan sekali lagi bahwa tangga terakhir ziarah jiwa manusia ialah kesatuan dengan Allah. Inilah puncak sukacita manusia; inilah saat di mana manusia tidak lagi ditinggalkan dalam ‘lembah tangis’, ia bukan lagi pengemis makna di padang gurun. Sekarang ia minum dari mata air kehidupan. Sekaligus inilah saat penyerahan dirinya secara total dalam Allah. Segala pengetahuan intelektual bukan lagi menjadi andalannya. Ia pun tidak bergantung lagi pada dunia. Kini ia siap menerima rahmat kesatuan mistik dengan Pencipta. Semangatnya berkobar-kobar oleh api Roh Kudus (VII, 4).




*Ditulis oleh Sdr. Andreas B. Atawolo, OFM, seorang saudara fransiskan tinggal di biara Duns Scotus, Kampung Ambon, Jakarta Timur. Telah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Antonianum, Roma.






Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
We Post For Sharing
bottom of page