Manusia Sejati Menurut Viktor E. Frankl (Sebuah Elaborasi Singkat atas Buku Man's Search For Mea
Siap-siap: Kencangkan Ikat Pinggang
Dalam pengalaman hidup sebagai manusia, tidak jarang kita merasa bosan, jenuh, dan putus asa. Tidak jarang pula kita merasa kecewa dan pupus harapan tatkala berhadapan dengan penderitaan yang sulit dihindari. Bahkan, ada yang memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara tragis, seperti bunuh diri, karena merasa tidak berarti lagi dalam hidup ini. Berhadapan dengan semua pengalaman dilematis itu, kita tentu bertanya, mengapa semua itu terjadi dalam kehidupan manusia?
Menurut Viktor E. Frankl, dalam buku Man’s Search for Meaning, peristiwa-peristiwa semacam itu terjadi karena manusia mengalami “kehilangan makna” dalam hidupnya. Kehilangan makna dalam hidup, demikian Frankl, menyebabkan orang merasa tidak memiliki “alasan” lagi untuk hidup. Oleh karena itu, Frankl menegaskan pentingnya “kehendak akan makna” dalam hidup manusia agar ia selalu memiliki alasan untuk hidup sampai kematian merenggutnya.
“Kehendak akan makna” ini merupakan basis konsep psikologi yang khas dari Frankl, yang kemudian ia namakan dengan “logoterapi”. Logoterapi, yang menekankan pentingnya “kehendak akan makna” dalam kehidupan manusia, akan menjadi fondasi untuk mengelaborasi secara lebih dalam konsep Frankl mengenai hakikat eksistensi manusia sebagaimana akan diuraikan dalam tulisan ini. Logoterapi ini penting karena ia berbicara tentang makna eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan makna itu sendiri, dan juga teknik-teknik terapeutis khusus untuk menemukan makna dalam kehidupan.
Menuju ke Ketinggian: Manusia Sejati Menurut Frankl
Konsep Viktor E. Frankl tentang manusia diawali secara komprehensif dalam sistem logoterapinya. Logoterapi berasal dari sebuah kata bahasa Yunani, “logos”, yang berarti ‘makna’ (meaning).[1] Istilah logoterapi kemudian dipakai Frankl untuk menamakan sistem psikologinya, suatu sistem yang membahas pentingnya “kehendak akan makna” dalam kehidupan manusia.
“Kehendak akan makna”, demikian Frankl, adalah suatu dorongan yang sangat fundamental dan kuat serta mampu mengalahkan semua dorongan lain pada manusia. “Kehendak akan makna” sangat penting untuk survival, terutama dalam menghadapi situasi-situasi batas (seperti yang dihadapi Frankl di Auschwitz). “Kehendak akan makna” penting supaya manusia tetap eksis. Tanpa memiliki makna dalam hidup, tidak ada alasan bagi manusia untuk meneruskan kehidupan. Dalam hal ini, makna kehidupan tentu saja khas, unik, dan berbeda untuk setiap individu.[2] Arti kehidupan berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain dan bahkan dari momen yang satu dengan momen berikutnya. Tidak ada hal yang sedemikian rupa bahwa kemauan universal akan makna berlaku secara merata bagi manusia.
Namun, demikian Frankl, meskipun ada diferensiasi intensitas mengenai “kehendak akan makna”, setiap manusia tetap tersatukan dalam satu kodrat yang berlaku universal dan yang menjadi alasan untuk “ada”nya, yakni “kehendak akan makna” itu sendiri. “Kehendak akan makna” menjadi dorongan yang sangat fundamental dan urgen dalam hidup manusia agar ia tetap memiliki dasar untuk bertahan dan melanjutkan hidup betapa pun peliknya kehidupan itu dijalani.
Lebih lanjut, pandangan Frankl mengenai kodrat manusia yang bertolak dari logoterapi dikonstruksi di atas tiga pilar utama. Pertama, kebebasan eksistensial manusia.[3] Manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dalam memilih reaksi atau sikap terhadap kondisi-kondisi dari luar yang memengaruhi kehidupannya. Kehidupan manusia, demikian Frankl, tidak dideterminasi oleh faktor-faktor non-spiritual, seperti instink-instink biologis, pengalaman masa lalu (baca: masa kanak-kanak), atau kondisi-kondisi dari lingkungan yang berada di luar dirinya.
Manusia de facto memiliki kebebasan dan kebebasan itu harus digunakan manusia dalam memilih bagaimana ia akan bersikap atau bertingkah laku terhadap kondisi-kondisi eksternal yang memengaruhinya. Dalam konteks ini, Frankl memang mengakui bahwa ada waktu di mana manusia juga tunduk pada kondisi-kondisi atau kekuatan-kekuatan dari luar yang secara langsung memengaruhi kehidupannya (seperti yang dialaminya di Auschwitz). Namun, dalam kondisi seperti itu, manusia masih tetap memiliki kebebasan dalam memilih reaksi atau sikap terhadap kondisi-kondisi yang hadapinya. Kebebasan ini sangat kodrati dan khas dari eksistensi manusia sebagai manusia (yang tidak dimiliki oleh pengada lain, seperti hewan dan tumbuhan), dan tidak dapat dicabut dari manusia, serta menjadi modal terakhir manusia dalam mengatasi setiap keadaan dan peristiwa hidupnya.
Namun, perlu diingat bahwa kebebasan yang dimaksud Frankl pada tataran ini adalah kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab. Penekanan pada aspek tanggung jawab ini tercermin dalam doktrin logoterapi, yaitu “hiduplah seakan-akan Anda sedang menjalani hidup untuk kedua kalinya dan hiduplah seakan-akan Anda sedang bersiap-siap untuk melakukan tindakan yang salah untuk pertama kalinya.”[4] Frankl percaya bahwa jika kita berhadapan dengan situasi semacam ini, kita akan tetap menyadari tanggung jawab berat yang kita miliki kapan dan di mana saja kita berada. Orang-orang yang bebas dan bertanggung jawab, demikian Frankl, adalah orang-orang yang berkembang—meskipun kodrat kehidupan singkat dan fana—sebab baginya, suatu kehidupan yang penuh arti ditentukan oleh kualitasnya, bukan oleh usia yang panjang.
Kedua, kehendak akan makna.[5] Aspek ini merujuk pada kebutuhan dasariah manusia yang terus-menerus mencari, tetapi bukan dirinya, melainkan suatu makna untuk memberi suatu nilai bagi eksistensinya. Frankl berkeyakinan bahwa arti kehidupan dapat dicapai dengan cara mentransendensi diri.[6] Semakin manusia mampu mentransendensi atau mengatasi perhatiannya pada diri atau egonya—dengan cara ‘memberi’ diri pada masa depan atau pada suatu tujuan tertentu di luar diri, baik seseorang maupun impian atau cita-cita—semakin ia menjadi manusia secara penuh.
Dalam hal ini, masa depan, impian, cita-cita, dan keinginan untuk berjumpa dengan orang yang kita cintai menjadi alasan bagi kita untuk tetap hidup, sekalipun dalam situasi-situasi gawat.[7] Hal ini dibuktikan oleh pengalaman personal Frankl sendiri ketika berada di kamp konsentrasi di Auschwitz. Keinginannya yang kuat untuk menuliskan kembali naskah untuk teori psikologinya yang telah diambil dan dihancurkan tentara Nazi serta harapannya untuk kembali bersatu dengan istri dan anak-anaknya sangat membantu dia dalam mengatasi semua kesulitan yang dia hadapi di beberapa kamp. Berangkat dari pengalaman ini, Frankl menegaskan kembali pentingnya kemampuan untuk mentransendensi diri sebagai prasyarat yang sine qua non untuk memenuhi “kehendak akan makna” dalam hidup manusia. Hanya dengan cara itu, manusia benar-benar menjadi manusia.
Ketiga, makna kehidupan.[8] Melalui logoterapi, kita mengetahui bahwa ada tiga cara yang bisa ditempuh untuk menemukan makna hidup, yaitu (1) melalui pekerjaan atau perbuatan; (2) dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang; dan (3) melalui cara kita menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari. Pada cara yang pertama, makna diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan atau suatu ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang-orang lain yang merupakan suatu bentuk ungkapan individu.
Cara yang pertama ini menyangkut pemberian kita kepada dunia. Berbeda dengan cara yang pertama, cara yang kedua lebih menyangkut penerimaan manusia dari dunia. Nilai-nilai pengalaman diperolah dengan mengalami sesuatu, misalnya melalui kebaikan, kebenaran, dan keindahan atau dengan menikmati alam dan budaya serta dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Pengenalan kita akan manusia lain, demikian Frankl, menjadi awal dari actus mencintai.
SLXLSelanjutnya, pada cara ketiga, Frankl menjelaskan bahwa situasi-situasi yang buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya nir-harapan, juga memberikan kita kesempatan yang sangat besar untuk menemukan makna. Situasi-situasi itu pun sangat menuntut supaya makna ditemukan. Penderitaan, demikian Frankl, tidak sepenuhnya bersifat destruktif dan mengecewakan. Maka, satu-satunya cara rasional untuk memberikan sikap kepadanya adalah menerimanya. Cara bagaimana kita menerima nasib kita, keberanian kita dalam menahan penderitaan kita, kesabaran yang kita tunjukkan ketika berhadapan dengan bencana merupakan ujian dan parameter terakhir dari pemenuhan kita sebagai manusia.
Dengan keyakinan ini, Frankl memberi kita harapan bahwa kehidupan manusia, meskipun dalam keadaan-keadaan sulit, tetap memiliki makna dan tujuan. Pencarian akan makna ini membutuhkan kesabaran, keberanian, dan kehendak (akan makna) yang kuat—jika tidak ada lagi kesabaran dan “kehendak akan makna” untuk hidup, manusia akan mengalami putus asa dan “kehilangan makna” dalam hidupnya. “Makna hidup” hanya bisa dicapai jika kita memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menemukannya dalam setiap peristiwa dan situasi hidup. Petualangan, penemuan, dan pengalaman akan makna dalam hidup menjadi ciri fundamental dan eksistensial dari eksistensi manusia. Kehidupan manusia, demikian Frankl, senantiasa mengandung makna yang mendalam sampai momen terakhir kehidupannya.
Landing: So What?
Berdasarkan pembahasan di atas, kita dapat merumuskan beberapa kesimpulan pokok mengenai manusia sejati menurut Victor E. Frankl. Pertama, manusia adalah subjek yang bebas dan bertanggung jawab dalam memilih dan menentukan sikap dan tindakannya terhadap nasib dan kondisi-kondisi yang memengaruhi kehidupannya; manusia tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar dirinya. Kedua, manusia adalah subjek yang secara sadar mengontrol kehidupannya sendiri, dan dalam upaya itu, ia mampu menemukan makna yang pantas bagi kehidupannya. Ketiga, manusia adalah subjek yang berkarya, produktif, kreatif, dan mampu mengaktualisasikan diri melalui daya cipta, pengalaman, dan sikap-sikapnya terhadap dunia. Keempat, manusia adalah subjek yang mampu mentransendensi diri; manusia mampu mengatasi (bergerak melampaui) perhatian terhadap diri atau egonya. Dengan kemampuan itu, ia sungguh menjadi manusia yang penuh dan utuh.
Daftar Acuan:
Frankl, Viktor E. Man’s Search for Meaning. Washington: Washington Square Press, 1985.
* Materi ini disampaikan dalam diskusi komunitas biara Duns Scotus, Kampung Ambon Jakarta Timur (Jumat, 3 Maret 2017)
[1]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Washington: Washington Square Press, 1985), 121.
[2]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, 131.
[3]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning,154-157.
[4]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning,131-132.
[5]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, 121-122.
[6]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, 133.
[7]Sebaliknya, orang yang tidak memiliki impian, cita-cita atau harapan akan masa depan sebagai alasan untuk tetap hidup, akan berada dalam apa yang Frankl sebut sebagai kekosongan eksistensial (existential vacuum), yaitu suatu keadaan yang bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan, tidak lagi melihat maksud, dan karena itu tidak ada sesuatu yang dibawa serta. Orang-orang seperti ini, demikian Frankl, akan segera “kehilangan”. Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, 128-130.
[8]Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, 131-133.