top of page

AKU, ENGKAU DAN KITA*

Fenomena Merangkul

Miroslav Volf, seorang teolog Kristen Protestan dari Kroasia, dalam bukunya Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness and Reconciliation (1996), membuat deskripsi menarik tentang apa yang terjadi ketika dua orang saling merangkul atau memeluk. Ia menamai deskripsi itu ‘fenomenologi merangkul’ (phenomenology of embrace). Deskripsinya sebagai berikut:


“Lengan-lengan yang terbuka merupakan sikap tubuh orang yang mendekati orang lain, sebuah simbol penolakan terhadap egoisme dan keterpusatan pada indentitas diri dengan menunjukkan keterbukaan dan pencarian akan yang lain: Saya tidak mau tinggal diam dalam diriku sendiri melainkan ingin agar orang lain menjadi bagian dari diriku, dan sebaliknya aku menjadi bagian darinya. Orang yang terkurung dalam dirinya, tidak mau menerima dan tidak mau bersentuhan dengan orang lain. Memberikan sebuah pelukan/rangkulan berarti menyediakan ruang dalam diriku untuk menyambut orang lain, dan atas kesediaanya saya menempati ruang yang ia sediakan bagiku.


Tetapi bagaimanapun dua orang yang berpelukan tetaplah dua tubuh yang berbeda. Keakuanku dan keakuan dia tidak dilepaskan. Lengan-lengan harus dibuka kembali. Dengan demikian identitas asli setiap orang tetap ada. Sebuah relasi sejati dapat dibangun bukan karena saya, dengan keakuanku, hendak menyingkap indentitas orang yang hadir di hadapanku. Tidak! Relasi sejati terjalin bukan karena saya mampu menyingkapkan sisi ‘misteri’ dari dia yang hadir di hadapanku, melainkan ketika saya harus memberikan ruang bagi dimensi ‘misteri’ itu sebagai bagian dari personalitasnya”


Eksistensi Manusia

Dasar pemikiran tentang kebhinekaan sebagai sebuah corak yang harus dipelihara dalam sebuah sistem kebudayaan, seperti di negara kita Indonesia ini, dapat digali dari penafsiran makna eksistensi manusia itu sendiri. ‘Eksistensi’: Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘eksistensi’, yang berasal dari kata Latin existentia ini, diartikan sebagai ‘hal berada’. Ia menunjukkan keberadaan seseorang atau sesuatu. Term ini berasal dari kata kerja exsistere, yang mengandung dua elemen pokok: ex dan sistere.


Term sistere menunjukkan cara berada (modus essendi) seseorang sebagai individu pada dirinya (individu per se). Setiap manusia adalah pribadi yang bebas. Ia memiliki identitas yang partikular dan karena itu tidak terbandingkan oleh pribadi lain. Tegasnya, tidak ada dua pribadi yang benar-benar identik dalam arti kata yang sebenarnya.


Hal yang menarik ialah bahwa term sistere ini diawali dengan preposisi ex, yang menunjukkan bahwa keberadaan manusia sebagai person itu, datang dari sumber lain, bukan dari dirinya. Manusia memang hadir secara independen, tetapi sekaligus tidak mutlak independen juga. Sebab, keberadaannya itu mengandaikan sumber lain yang dari padanya ia berasal. Sebagai person manusia itu, misalnya, adalah makhluk yang berpikir (‘aku berpikir maka aku ada’). Tetapi lebih luhur lagi ia adalah makhluk yang telah dipikirkan (aku telah dipikirkan/dikehendaki maka aku ada) [Cf. RSV, De Trinitate IV, 12].


Aku, Kamu, Kita

Kategori eksistensi manusia ini memperlihatkan adanya dua sisi dalam kodratnya: Padanya terdapat sisi ‘aku’ yang memantulkan partikularitas pribadi. Tetapi manusia juga memiliki keterarahan kepada orang lain: ‘engkau’. Sisi ‘aku’ mewakili keberadaanku yang unik dan bebas; sedangkan keterbukaan pada ‘engkau’ menunjukkan dimensi relasionalnya. Kedua sisi ini saling mengandaikan satu sama lain.


Ketika ‘aku’ sebagai orang pertama dan ‘engkau’ sebagai orang kedua bertemu, terbentuklah sebuah kesatuan yang bernama ‘kita’. Kesatuan yang disebut ‘kita’ itu merangkul relasi antara ‘aku’ dan ‘engkau’, dan karena daya penyatunya itu, ia melampaui pola relasi timbali balik. Ia merupakan elemen baru yang menyatukan ‘aku’ dan ‘engkau’. Kesatuan itu bisa bernama ‘persahabatan’, ‘persaudaraan’, ‘perkawinan’, ‘kerja sama’ dan sebagainya. Interaksi antara manusia memperlihatkan bahwa relasi antar pribadi tidak bersifat netral belaka: Saya berbicara dengan seseorang tentang sesuatu; saya bekerja dengan orang lain untuk mencapai sebuah tujuan; saya melayani sesama terdorong oleh sebuah keyakinan; saya mencintai seseorang atas dasar sebuah nilai yang saya yakini.


Dengan kata lain, dalam berelasi manusia mengalami bahwa ia tidak hanya terarah kepada pribadi lain, tetapi juga percaya pada prinsip yang menyebabkan dan mempertahankan relasi itu. Prinsip mutual itulah yang menjadikan relasi antara ‘aku’ dan ‘engkau’ bermakna. Prinsip itu bagaikan terang yang menyinari wajah-wajah manusia. Dalam terang itu ‘aku’ dapat memandang wajahmu dan mengerti bahwa ‘engkau’ memang berbeda dariku. Dan, justru karena berbeda maka ‘aku’ dan ‘engkau’ menjadi ‘kita’. Wajah kita memang berbeda, tetapi janganlah kita terlalu sibuk dengan perbedaan itu sampai lupa bahwa wajah-wajah kita diterangi oleh cahaya yang satu dan sama.


Cahaya matahari tampak berwarna putih. Namun warna putih itu sebenarnya adalah gabungan dari berbagai cahaya dengan gelombang dan panjang yang berbeda-beda. Karena itu kita dapat melihat warna-warna pelangi yang indah saat hujan gerimis dengan matahari bersinar. Titik air hujan membiaskan cahaya dan menghasilkan deretan warna yang berbeda-beda. Fenomena keindahan pelangi ini menyimbolkan bahwa kebhinekaan merupakan sebuah keindahan; bahwa menjadi satu dalam pluralitas merupakan hal yang mengagumkan. Ketika wajah kita yang berbeda, budaya kita yang plural dan bahasa yang beragam ini kita terima sebagai anugerah, dan bukan ancaman, maka kita sesungguhnya sedang membangun pelangi hidup yang indah, yang memancarkan sukacita dan harapan.


Keindahan Sebuah Sarung

Sebagaimana keindahan pelangi, sarung-sarung yang kita kenakan ini merupakan simbol kuat keindahan dalam kebhinekaan: Banyak dari kita kiranya memiliki kisah tertentu tentang sarung yang dikenakan. Bagi saya mengenakan sarung buatan ibu sendiri merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Pada waktu kecil saya sering memperhatikan ibu ketika sedang menenun. Saya pun masih dapat mengingat dengan baik proses-proses tradisional untuk menghasilkan sebuah sarung: memetik kapas, menghaluskan dan memintalnya menjadi benang, mewarnai benang dengan daun pewarna yang dimasak, merangkai benang dan menenunnya menjadi sebuah lembaran kain. Ketika menenun, salah satu proses yang paling rumit ialah merangkai lembar-lembar benang sehingga menjadi rapat/padat, mengikat dan mengaitnya sedemikian rupa sehingga menghasilkan kombinasi yang subtil tanpa menjadi kusut. Pekerjaan yang memakan waktu dan energi itu akhirnya menghasilkan lembaran kain dengan kombinasi warna yang indah dan harmonis.


Seperti sarung yang terbentuk dari warna-warna indah benang, demikian juga pluralitas budaya menghasilkan keindahan. Dengan mengenakan sarung, kita semua diingatkan bahwa keharmonisan itu perlu dibangun dan dipelihara dengan tekun. Seorang wanita yang menenun itu adalah arsitek hebat yang menghasilkan sebuah karya seni. Keharmonisan yang sesungguhnya terdapat dalam diri arsitek itu; namun ia mengekspresikannya dalam sebuah karya yang bernama ‘sarung’. Mengenakan sarung adalah sebuah refleksi mendalam tentang kebhinekaan: wajah manusia itu beragam, namun hanya satu Arsiteknya. Terpujilah sang Arsitek itu. Dialah penenun ulung benang-benang kehidupan manusia. Ia bukan hanya seniman biasa. Ia seniman yang bijak!


Refleksi

Jika kita hendak memaknai metafor atau simbol yang telah diangkat dalam alinea-alinea di atas – yaitu sisi ‘misteri’ dalam fenomena merangkul, ‘prinsip mutual’ yang menghidupkan relasi antara pribadi, ‘cahaya putih’ yang memancarkan keindahan pelangi, serta ‘wanita tukang tenun’ – sebagai analogi dari pengalaman kita akan Allah, yang adalah Kasih, sebagaimana diajarkan dalam iman Kristen dan diimani oleh St. Fransiskus dari Assisi, maka hubungan antara manusia, yang adalah makhluk relasional itu, dapat digambarkan dalam pola triadik seperti ini: 1) Dia mencintai aku; 2) engkau begitu indah di mataku sebagaimana diriku sendiri, sebab padamu aku memandang Dia; 3) karena itu kita mau mencintai satu sama lain sebagaimana Ia sendiri telah mencintai kita. Kita adalah satu dan Dia ada di tengah-tengah kita, immanuel [Cf. GG, Il Dio Unitrino, 291].




* Tulisan ini disampaikan dalam orasi budaya "Bhineka dalam Sarung" yang diselenggarakan oleh para frater OFM di aula SMA St. Fransiskus Kampung Ambon, Jakarta Timur.

Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
We Post For Sharing
bottom of page