Konsep-konsep Politik Aristoteles (Sebuah elaborasi singkat atas buku La Politica )
Pengantar
Tema politik merupakan sebuah tema yang telah hidup dalam peradaban manusia selama berabad-abad. Tema ini tak pernah lekang oleh waktu dan selalu terlihat seksi untuk didiskusikan, mulai dari warung kopi hingga istana negara.
Sebagaimana sejarah membuktikan, pembicaraan mengenai politik bebas dilakukan oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, serta sangat terbuka pada tafsiran dan perubahan. Hal inilah yang menyebabkan konsep tentang politik atau negara selalu mengalami perubahan.
"Jas Merah"(jangan sekali-kali melupakan sejarah). Jika ingin bersentuhan dengan politik, tentu akan lebih baik bila sejarah politik turut disentuh , yaitu tentang "gagasan yang (kemudian) menjadi peristiwa", meminjam salah satu judul buku yang ditulis Romo Eddy. Gagasan-gagasan tentang politik tersebut dihasilkan oleh banyak pemikir besar dalam sejarah, teristimewa tiga "juragan" teori Yunani : Socrates, Platon, dan Aristoteles. Pemikiran ketiga tokoh ini memiliki pengaruh besar dalam peradaban eropa dan pada gilirannya dalam peradaban dunia. Sadar atau tidak sadar, banyak hal yang kita alami dijiwai oleh gagasan “The Gang of Three” ini.
Dalam kesempatan diskusi ini kita akan bersama-sama mengupas pemikiran Aristoteles mengenai politik yang secara khusus dituangkan dalam buku monumentalnya La Politica. Tema sentral buku ini adalah negara sebagai suatu persekutuan politik (he koinonia politike) yang dibentuk guna mencapai kebaikan manusia yang tertinggi; Kebahagiaan (eudaimonia).
Kehidupan Aristoteles
Aristoles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, sebuah kota koloni Yunani di Semenanjung Chalcidice, Makedonia (sebelah utara Yunani). Ayahnya, Nichomachus, adalah sahabat dan dokter keluarga raja Amyntas II, ayah Philipos dan kakek Alexandros ( Aleksander Agung). Ia seorang kutu buku. Perkenalan dengan beberapa pemikir besar turut menyumbangkan pengetahuan yang akan membentuk gagasan atau pemikirannya. Aristoteles mengenal banyak pemikiran dari tokoh-tokoh besar, yaitu Plato, Parmenides, Socrates, Heraclitus dan Democritus. Tokoh yang paling berpengaruh adalah Plato.
Plato menjadi gurunya selama kurang lebih 20 tahun di sekolah Akademia di Athena. Tidak seperti rekan-rekannya di Akademia yang lebih suka membanggakan guru mereka, Aristoteles cenderung berusaha keluar dari bayang-bayang nama besar gurunya dengan mengemukakan ide yang orisinal. Hal ini kerap memicu perdebatan dengan gurunya mengenai berbagai hal dalam bidang filsafat, logika,
politik, hukum, dan retorika. [1]
Setelah Plato wafat, Aristoteles pindah ke Asia Kecil, tepatnya di Assus. Di situ ia mengajar akademia baru yang didirikan oleh Trastos dan Koriskos. Selain mengajar, pemikiran filosofisnya dituangkan dalam berbagai tulisan dan banyak diantaranya yang masih bertahan hingga saat ini, seperti buku Nicomachean Ethics dan Politics. Pada 342 SM Aristoteles menerima undangan raja Philipos untuk menjadi tutor sang putra mahkota, Aleksndros.
Dalam waktu dua tahun Aristoteles berhasil membentuk seorang calon penguasa dunia yang sebelumnya seorang remaja yang liar dan serampangan. Di kemudian hari, Aristoteles mendapat banyak hak istimewa sebagai tanda terima kasih dari raja Aleksander Agung. Misalnya, kendati Aristoteles bukan warga negara Athena yang secara hukum tak boleh memiliki harta tak bergerak, ia diperbolehkan memiliki tempat dan berhasil membangun sekolahnya di lapangan senam yang merupakan bagian dari halaman kuil Dewa Apollo Lykeos.
Pada 323 SM Aleksander Agung wafat di Babylon. Berita tersebut menimbulkan pergolakan di berbagai negara yang sudah ditaklukkan, termasuk di Athena. Gerakan anti-Makedonia pun terjadi. Aristoteles yang memang telah lama dikenal sebagai sahabat para penguasa dituduh sebagai pendurhaka yang menghina dewa-dewa orang Yunani. Ia teringat akan nasib buruk yang menimpa Socrates dan melarikan diri ke Khalkis hingga wafat pada 322 SM.
Konsep hidup baik menurut Aristoteles
Untuk dapat memahami konsep politik Aristoteles, ada baiknya kita terlebih dahulu mengenal konsep hidup yang baik menurut Aristoteles. Konsep ini berkaitan erat dengan politik atau negara.
Hidup yang baik adalah hidup yang dijalankan sesuai dengan etika atau moral. Oleh karena itu ukuran kebaikan yang dipakai adalah ukuran moral, yaitu “rata-rata” atau “kurang-lebih” dan tak dapat dipakai ukuran matematis. Dengan kata lain, bagi Aristoteles tak ada kebaikan yang bersifat absolut. Dalam menyikapi ketidak-pastian ukuran moral ini, pengalaman dan kedewasaan seseorang sangat dibutuhkan. [2]
Hidup yang baik terdiri atas tindakan-tindakan yang baik. Menurut Aristoteles, setiap tindakan pada dasarnya terarah pada tujuan yang dalam dirinya sendiri “baik”. Tindakan-tindakan yang mengandung kebaikan tersebut, dikelompokan atas beberapa jenis, yaitu keterampilan (techne), penelitian (methodos), tindakan aktual (praxis) dan penentua pilihan dalam bertindak melalui pencarian (proairesis).[3]
Dengan kata lain, kebaikan merupakan sesuatu yang kepadanya segala tindakan tertuju. Kebaikan menjadi tujuan (telos). Di sisi lain, semakin banyak orang yang merasakan suatu kebaikan, semakin tinggi nilai kebaikan tersebut. Oleh karena itu, secara moral kebaikan yang lebih rendah tidak boleh mengorbankan kebaikan yang lebih tinggi karena terdapat lebih banyak orang yang merasakan kebaikan tersebut.
Kebaikan juga merupakan sesuatu yang menyenangkan. Namun, Aristoteles menegaskan bahwa kesenangan bukanlah kebaikan tetapi sesuatu yang mengiringi kebaikan. Dalam hidup manusia terdapat banyak kebaikan yang terdiri atas tiga kelompok, yaitu kebaikan eksternal seperti harta, kebaikan internal seperti kesehatan, dan kebaikan internal jiwa seperti ingatan dan intelegensi.
Di antara kebaikan-kebaikan yang ada, ada satu kebaikan yang memiliki tujuan tertinggi, yaitu kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan telah memenuhi ciri kebaikan tertinggi, yaitu menjadi tujuan dari semua tindakan manusia dan cukup dalam dirinya sendiri (selfsufficient). Kebahagiaan yang paling tinggi adalah kebahagiaan seluruh anggota polis. Dalam hal ini, (ilmu) politik-lah yang berperan untuk mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh warga negara.
Jalan menuju kebaikan tertinggi adalah kebajikan. Menurut Aristoteles, kebajikan terdiri atas dua jenis, yaitu kebajikan moral dan kebajikan intelektual. Kebajikan moral berasal dari kebiasaan, sedangkan kebajikan intelektual berasal dari pengajaran. Kebajikan moral merupakan suatu karakter permanen dan disposisi yang berkaitan dengan kemampuan manusia untuk memilih jalan tengah atas sesuatu.
Orang yang memiliki kebajikan moral merasa senang, marah dan takut secara benar dan proporsional karena perasaan mereka telah diintegrasikan secara tepat ke dalam intelek atau akal budi. Dari sini pula-lah kehendak baik berasal. Sedangkan kebajikan intelektual terjadi bila manusia melakukan segala sesuatu sesuai prinsip-prinsip kebenaran yang merupakan hasil kerja akal budi. Sehingga kebajikan intelek menekankan peran intelek dan intelek sendiri tertuju pada kebenaran. Dengan kata lain, aktivitas kontemplatif memainkan peran sentral dalam menciptakan jalan menuju eudaimonia.
Konsep politik Aristoteles
Pada bagian ini penulis akan menguraikan pemikiran Aristoteles tentang politik sebagaimana terdapat dalam buku La Politica yang ditulis sendiri oleh Aristoteles. Uraian ini terdiri atas tiga tema pokok, yaitu komunitas politik, pengertian kewarganegaraan, dan konstitusi.
Pertama, komunitas politik atau negara. Istilah komunitas politik baru muncul di kemudian hari. Ketika Plato dan Aristoteles berbicara mengenai komunitas politik mereka menggunakan kata polis yang berarti “negara kota”. Polis berdiri di atas dua dasar yaitu persahabatan (kerja sama) dan keadilan (perolehan warga negara berdasarkan kontribusi pribadi). Keberadaan polis dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan (teleos) atau keinginan bersama. Polis merupakan wadah untuk merealisasikan potensi anggota-anggotanya sehingga memiliki kedudukan yang paling tinggi. Aristoteles menulis:
Polis merupakan persekutuan manusia yang memiliki kebutuhan dan saling membutuhkan dan manusia yang membentuk negara adalah orang-orang yang memiliki kebebasan yang sama, yang harus tetap dipelihara atau dihormati oleh negara dalam batas-batas tertentu, sejauh itu tidak merusak kepentingan umum. Dengan terbentuknya negara segala sesuatu telah sempurna dan tercukupi (autarkeia) dalam bidang sosial, kebudayaan, keamanan dan semua bidang lain teristimewa yang tidak terpenuhi persekutuan lain baik keluarga maupun desa. [4]
Tidak seperti kaum Sofis yang terlebih dahulu memperkenalkan negara sebagai instrumen semata, Aristoteles menyebut negara sebagai “he koinonia politike” yang berarti persekutuan hidup yang erat (bagaikan suami-istri) berbentuk polis (negara kota). Jika kemesraan atau keakraban tiap anggota polis sungguh dirawat, maka keutuhan negara yang begitu didamba-dambakan dapat terjamin. Persekutuan hidup (koinonia) dalam negara tidak berkedudukan sama seperti keluarga atau desa, karena negara merangkul semua persekutuan hidup yang ada. Dengan kata lain, negara merupakan persekutuan hidup tertinggi.
Secara alamiah manusia membutuhkan sesama untuk mencapai tujuannya sehingga manusia adalah makhluk politik (zoon politikon). Namun, Aristoteles menegaskan bahwa manusia berbeda dengan makhluk lain yang hidup berkelompok untuk mencapai tujuan seperti lebah. Manusia tidak bertindak berdasarkan insting, tetapi menggunakan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai alternatif, menetukan tujuan bersama, memilih sarana yang tepat untuk mencapai sarana tersebut, dan secara bersama terlibat aktif dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Kedua, Aristoteles turut menyoroti tema kewarganegaraan. Ciri khas untuk kewarganegaraan ialah memiliki hak politis, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam tugas-tugas publik dan berpartisipasi dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik. Mereka adalah orang-orang yang tidak perlu bekerja untuk memperoleh nafkah hidup.
Oleh karena itu, mereka dapat menjadi hakim, pejabat pemerintah, atau prajurit bila diperlukan. Hal inilah yang membedakan warga negara dengan budak atau pendatang. Selain itu, anak-anak tidak dapat menjadi warga negara karena belum memiliki kecakapan seperti pria dewasa. Sama halnya dengan perempuan yang tidak memiliki kecakapan karena “menurut kodratnya perempuan kurang (inferior) dan tunduk pada pria karena secara kodrat unggul (superior) dan penguasa".[5]
Aristoteles menambahkan bahwa orang tua tidak layak disebut warga negara. Karena usia mereka yag telah lanjut dan kondisi terbaik mereka telah lewat, mereka tidak sanggup memainkan peranan yang penting dalam kehidupan bernegara. Memang jauh sebelum zaman Plato dan Aristoteles, polis Athena di Yunani tidak memasukkan para budak, wanita dan anak-anak di dalam bilangan warga negara. Oleh sebab itu, dari sekitar dua ribu penduduk Athena, hanya empat puluh ribu orang yang menjadi warga negara.
Pada umumnya, kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh kelahirannya. Namun, Aristoteles menambahkan bahwa seseorang yang lahir di luar polis dan merupakan generasi ketiga atau keempat anggota polis berhak menjadi anggota polis bila memiliki kemampuan unutk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan polis. Jadi, partisipasi merupakan kata kunci untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.[6] Partisipasi sendiri dilakukan bila seseorang memiliki kemampuan dan waktu luang, baik orang kaya maupun orang miskin.
Ketiga, aktivitas negara ditentukan oleh konstitusi. Konstitusi merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan warga negara karena menentukan tujuan-tujuan bersama, cara hidup, dan mengatur sruktur institusi politik beserta pembagian kekuasaan. Konstitusi merupakan dasar negara dan di zaman modern mengatur tiga lembaga utama dalam negara, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Untuk menentukan konstitusi terbaik dalan negara, Aristoteles melakukan penelitian terhadap konstitusi-konstitusi yang berlaku di Yunani pada saat itu. Bentuk pemerintahan hasil konstitusi di Yunani ada yang baik, yaitu yang sanggup memanusiakan manusia dan ada pula yang buruk, yaitu yang dikatakan sebagai "penyimpangan" dari yang benar. Ada dua pertanyaan pokok dalam penelitian Aristoteles, yaitu berapa pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara (satu, beberapa, banyak) dan untuk siapakah tujuan pemerintahan diarahkan (umum atau pribadi).
Dari penelitiannya, Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa ada tiga bentuk pemerintahan yang baik dan tiga bentuk pemerintahan yang buruk. Bentuk pemerintahan yang baik, yaitu monarki, aristokrasi, dan teritimewa politeia.[7] Di sisi lain, terdapat tiga bentuk pemerintahan yang buruk, yaitu tirani atau penyimpangan dari monarki, oligarki atau penyimpangan dari aristokrasi, dan demokrasi atau penyimpangan dari politea.
Jadi baik-buruknya sistem pemerintahan di suatu negara sangat bergantung pada kualitas pemimpin atau pengambil kebijakan. Secara gamblang Aristoteles menjelaskan pemimppin yang baik adalah anggota polis yang berpendidikan, berbudaya, berasal dari keluarga terhormat, memiliki kontribusi bagi kepentingan polis secara keseluruhan (magnificence).[8] Dengan kata lain, orang terbaik adalah anggota polis yang memiliki kebajikan intelektual dan kebajikan moral.
Hal lain yang turut menjadi pokok pemikiran Aristoteles mengenai politik adalah hukum. Ketika hukum dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki kebajikan dan ditepati secar konsisten maka ada empat hal yang akan terwujud dalam negara, antara lain:
Hukum akan menimbulkan moralitas yang tinggi dan keadaban yang terpuji bagi yang memerintah dan diperintah,
Mencegah pemerintahan yang sewenang-wenang,
Menumbuhkan kerja sama atau partisipasi dari pihak yang diperintah dalam proses pemerintahan,
Tercapainya kesejahteraan umum.[9]
Di penghujung tulisannya mengengenai politik dalam buku La Politica, Aristoteles kembali menegaskan pentingnya kegiatan kontemplasi sebagai syarat mutlak untuk mencapai eudaimonia. Oleh karena itu, Aristoteles mengkritik negarawan yang terlalu sibuk dalam urusan politik sehingga tidak memiliki waktu luang untuk berkontemplasi. Negarawan tersebut melupakan kegiatan kontemplasi sebagai aktivitas yang berciri ilahi karena melibatkan intelek.
Kesimpulan
Inti ajaran Aristoteles tentang politik yang bisa dipetik adalah hidup bersama orang lain dan bekerja sama merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan (teleos) atau cita-cita. Kebenaran hakikat manusia sebagai makhluk politik (zoon politicon) tercermin dalam kenyataan bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk mencapai kebaikan tertinggi.
Untuk mencapai cita-cita besar, keberadaan orang lain dalam komunitas atau kelompok sangat penting sehingga komunitas atau kelompok adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan kesuksesan seseorang. Di sisi lain, kesadaran untuk berpartisipasi dalam komunitas sangat bergantung pada pemahaman seseorang akan makna atau nilai yang diperoleh dari keterlibatan dalam kegiatan berkomunitas.
Oleh karena itu, sebelum terlibat pada suatu kegiatan dalam kelompok atau komunitas, seseorang perlu memahami apa tujuan positif yang ingin dicapai. Keterlibatan dalam kegiatan komunitas jangan hanya dimaksudkan untuk menjalani aturan sehingga seseorang hanya berbuat sesuatu karena terpaksa berbuat demikian. Pengenalan akan tujuan memberi kekuatan yang sangat diperlukan.
Manusia harus berelasi dengan orang lain untuk mengembangkan intelegensinya. Dalam berelasi pun manusia membutuhkan tata aturan atau etika agar relasi yang ada dapat terjalin dengan erat (koinonia). Selain itu, kebajikan intelektual yang terlahir dari kegiatan kontemplasi merupakan suatu unsur yang harus ada bila manusia ingin memiliki hidup yang berkualitas, yaitu yang terarah pada kebaikan tertinggi. Kontemplasilah yang menentuksn mutu seseorang.
[1] J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles ( Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 3.
[2] Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 67.
[3] Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 70.
[4] Aristoteles. Politik( La Politika). Terj. Syamsur Irawan Kharie, (Jakarta: Visimedia, 2006), hlm 45.
[5] Aristoteles. Politik (La Politika). Terj. Syamsur Irawan Kharie, (Jakarta: Visimedia, 2006), hlm 46.
[6] Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 77.
[7] Monarki berasal dari kata Yunani “monos” yang berarti “satu” (orang) dan “arche” yang berarti “pemerintahan”. Bagi Arsitoteles, monarki merupakan sistem pemerintahan yang baik bila orang yang memerintah memiliki kebajikan atau seorang “filsuf-raja”. Aristokrasi berasal dari kata Yunani “Aristos” yang berarti “paling baik” dan “kratos” yang berarti kekuasaan. Aristokrasi berarti pemerintahan oleh beberapa orang yang paling baik atau arif. “politeia” adalah kata Yunani yang berarti “konstitusi”.bdk J. H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles ( Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 46.
[8] Aristoteles. Politik( La Politika). Terj. Syamsur Irawan Kharie, (Jakarta: Visimedia, 2006), hlm 236.
[9] Aristoteles. Politik( La Politika). Terj. Syamsur Irawan Kharie, (Jakarta: Visimedia, 2006), hlm 66.