Sastra Rakyat Indonesia Sebagai Basis Pendidikan Kebhinekaan: Menangkal Seruan Primordial Kaum Popul
Abstrak
Hate Speech and primordial sentiments that broke the unity of Indonesia can be yielded by some radical “populist” communities. They claimed that the government have failed in executing authorities and take this chance to get their interest in political will. To solve the problem preventively, we offer the Indonesian local literature as a base of education in diversity. It works to block up the movement of the exclusive community and discriminative mentality.
Kata Kunci: Sastra Rakyat Indonesia, Pendidikan Kebhinekaan, Primordialime, Populisme, Diskriminasi
Pengantar
Indonesia adalah sebuah negeri unik yang dikenal dunia karena masyarakatnya biasa hidup berdampingan di tengah keanekaragaman suku, ras, budaya, tradisi, dan agama.[1] Bangsa ini telah sekian lama menjadi “laboratorium” besar dunia untuk meneliti spirit inklusivitas yang dihidupi masyarakatnya. Dalam konteks yang lebih khusus, Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi (kuali peleburan) keindonesiaan karena orang dari berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya itu bisa hidup bersatu di tengah segala realitas perbedaan yang ada.
Tentu nilai toleransi dan solidaritas itu tidak terbentuk sekali jadi. Inklusivitas warga Jakarta yang datang dari berbagai latar belakang ini sesungguhnya sudah dibentuk dari kearifan lokal daerah asal mereka masing-masing. Hal ini mulai ditumbuhkan dari khazanah tradisi maupun cerita rakyat sarat makna yang menyajikan nilai-nilai persatuan di tengah pluralitas.
Sayangnya, berbagai peristiwa intoleransi dan diskriminasi yang kembali terjadi beberapa waktu belakangan ini kembali mengancam spirit kebhinekaan Indonesia, mulai dari praktik diskriminasi terhadap kaum minoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah, penolakan pendirian hingga perusakan tempat ibadah (kasus GKI Yasmin, Singkil-Aceh atau Tolikara-Papua, hingga Gereja St. Clara, Bekasi). Dalam catatan Setara Insitute, sepanjang tahun 2015 ada 197 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 236 bentuk tindakan yang tersebar di seluruh Indonesia.[2] Belum lagi, seruan kaum ”populis” yang mengembangkan bentuk-bentuk ”nasionalisme sempit” (eksklusivisme) dan anti-demokrasi karena ketidakpuasan () terhadap situasi sosial, ekonomi dan politik kembali menyeruak.[3] Pemerintah diklaim telah gagal dan hal itu dijadikan alasan oleh pihak tertentu untuk melakukan gugatan dengan ujaran-ujaran kebencian yang diserukan demi mengambilalih kekuasaan tersebut. Alhasil, fondasi pro-kebhinekaan dan pro-demokrasi yang sedang dibangun selama ini kembali terancam.
Indonesia: Negeri Bhinneka Tunggal Ika dalam Fobia Primordialisme
Salah satu praktik diskriminasi SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) yang menjadi sorotan di negeri ini nampak dalam fenomena serangan terhadap sosok Basuki Tjahaja Purnama atau lebih akrab disapa Ahok.[4] Tentu penulis tidak hendak membahas persoalan layak tidaknya beliau memimpin Jakarta yang mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun, entah apapun motifnya, Ahok bisa dikatakan sebagai korban aksi diskriminatif yang ”mengganyang” hak-haknya sebagai warga negara Indonesia untuk memimpin pemerintahan DKI Jakarta dengan isu-isu sentimen SARA. Latar belakangnya yang berasal dari etnis Tionghoa serta beragama Kristen yang merupakan kelompok minoritas (sasaran tindak diskriminatif dalam sejarah Indonesia) seringkali digunakan oleh sejumlah lawan politiknya untuk menurunkan kredibilitas dan elektabilitas Sang Calon Gubernur Petahana.[5]
Isu SARA bahkan bisa nampak lebih menonjol daripada catatan kinerja dan pelaksanaan program-program Sang Gubernur yang seharusnya menjadi tolak ukur obyektif keterpilihannya kembali sebagai kepala pemerintahan di Jakarta.[6] Walaupun saat ini orang-orang tak mudah termakan isu dan seruan anti-pluralitas dari kaum populis yang terus didengungkan, juga dalam berbagai bentuk aksi pengerahan massa, namun permasalahan ini tetap perlu ditanggapi secara serius. Jika tidak, fobia munculnya kembali sikap-sikap primordial[7] bisa terus menghantui dan menghambat generasi muda Indonesia untuk menumbuhkembangkan spirit kebhinekaan dalam kehidupan bersama yang heterogen.
Harus diakui bahwa sikap pemerintah untuk menanggapi aneka kasus diskriminasi dan intoleransi belumlah maksimal dan hal itu jelas perlu dikoreksi. Namun seharusnya momentum ini justru mendorong setiap pihak, khususnya dari lapisan masyarakat ”akar rumput” (untuk perlu turut mengupayakan hal yang lebih mendasar, yakni pembentukan spirit dan sistem pendidikan kebhinekaan yang efektif dan membatin bagi generasi muda. Hal ini jelas diperlukan untuk menghalau mental-mental diskriminatif karena pembiaran aksi-aksi fanatisme dan intoleransi yang ”dipopulerkan” dalam mobilisasi massa untuk menyerukan tuntutan tertentu yang diklaim mengatasnamakan kehendak sebagian besar orang (mayoritas).
Solusi terhadap fenomena populisme tentunya amat beragam dan kompleks, yakni menyangkut pembenahan sistem sosial, ekonomi, politik, hukum dan keamanan nasional yang seyogyanya semakin baik. Namun pada kesempatan ini, penulis justru melihat perlunya usaha yang lebih preventif untuk menghalau ekses negatif populisme dan seruan ”nasionalisme sempit” (anti ke-bhineka-an) yang mengancam keutuhan NKRI. Hal ini ditempuh melalui sektor pendidikan (karakter). Penulis mengajukan revitalisasi tradisi dan sastra kerakyatan Indonesia sendiri sebagai titik tolak penumbuhan kembali spirit kebhinekaan-Pancasila itu demi menghalau ujaran kebencian primordial ala kaum populis yang kembali akhir-akhir ini. Dengan demikian, anak-anak Indonesia seyogyanya dimungkinkan untuk menggali kembali spirit persatuan dalam keberagaman berdasarkan khazanah kebudayaan (sastra) Indonesia sendiri, agar sungguh dihayati sebagai karakteristik manusia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Mendidik Sebagai Tindakan Manusia agar Hidup Berkeutamaan
Pendidikan merupakan tindakan intensional seseorang untuk mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia yang berkeutamaan.[8] Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa hal ini memungkinkan perwujudan nilai-nilai perdamaian, persatuan, dan solidaritas.[9] Selain sebagai aktivitas transfer ilmu, mendidik merupakan perwujudan konsisten tentang perbuatan yang terpuji, norma-norma sosial, identitas kultural dan martabat kebangsaan.[10] Hal ini menyasar pada tujuan kemandirian pribadi yang bisa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
Pada umumnya, proses mendidik dimulai dengan penanaman nilai-nilai kehidupan melalui tradisi dan pengisahan keteladanan tokoh-tokoh nenek moyang atau pahlawan secara turun-temurun. Indonesia sendiri memiliki keanekaragaman budaya (termasuk khazanah cerita rakyat) yang menjadi modal penting pendidikan bagi generasi muda. Hal ini dapat menumbuhkan semangat nasionalisme yang mempersatukan, sekaligus melestarikan segala kearifan warisan sosial-budaya bangsa kita sendiri.
Sistem pendidikan Indonesia memang dirasa masih kurang mengakomodir dimensi pembangunan karakter siswa secara berkelanjutan. Tak dapat dipungkiri pula bahwa saat ini sekolah bukanlah satu-satunya pihak yang menentukan pengembangan pengetahuan dan nilai-nilai yang dihayati oleh siswa. Banyaknya tawaran informasi yang disajikan di era digital ini membuat mereka kesulitan menyaring informasi mana yang patut diterima sebagai komponen edukasi untuk mendewasakan mereka. Harus diakui pula bahwa dalam banyak kasus, berbagai sistem nilai dan pandangan negatif menjadi ”bibit-bibit” bertumbuhnya nilai-nilai eksklusivisme, primordialisme, fanatisme, dan lainnya.
Hal itu terus diserukan kaum populis dalam berbagai aksi pengerahan massa, ujaran fitnah dan kebencian di sosial media sampai fenomena (berita-berita bohong). Mereka lebih aktif mendoktrin generasi muda masa kini melalui berbagai cara itu, sehingga pandangannya bisa diterima dengan begitu cepat.
Di tengah kondisi ini, strategi pendidikan yang berimbang, baik formal maupun informal tentu amat mendesak diwujudkan. Jangan sampai sistem dan iklim edukasi yang ada selama ini hanya menghasilkan generasi muda yang cerdas namun kurang berkarakter dan berkeutamaan. Jika terus terjadi demikian, negeri ini akan berada di ambang perpecahan dan kehancuran.
Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Kerakyatan
Dalam sejarah peradaban manusia, tercatat bahwa Yunani merupakan negeri kelahiran filsafat dan ilmu pengetahuan.[11] Uniknya, mitos-mitos kerakyatanlah yangmenjadi sarana awal mereka memahami realitas. Para penyair seperti Hesiodos, Orpheus, Pherekydes (550 SM) dan lainnya dikenal sebagai (penggagas pengetahuan mitologis).[12] Memang tak semua mitologi bernilai edukatif.[13] Tak dapat dipungkiri pula bahwa cerita rakyat punya kesan irasional, primitif, fiktif, dan tidak dapat diverifikasi kebenarannya.[14] Namun, dengan proses pemaknaan yang kritis, dinamis dan multidimensional, nilai-nilai itu seyogyanya dapat digali demi pendidikan karakter insan bangsa yang berkeutamaan dan cinta tanah air.
Dalam proses pembentukan karakter yang berbasis pendekatan narasi, peserta didik digerakkan untuk mengembangkan proses imajinasi serta mendorong ke arah tindakan, awalnya melalui (peniruan) nilai-nilai yang diperolehnya dalam kisah kerakyatan. Pendekatan ini tidak menyodorkan norma-norma moral yang bersifat (menggurui), melainkan bersifat (menyapa hati) dan mengadaptasi pluralitas.[15]
Kekayaan kisah-kisah kerakyatan adalah salah satu ciri khas Indonesia.[16] Sayangnya karena minimnya sosialisasi, edukasi dan promosi, cerita rakyat Indonesia bahkan kalah populer dibanding budaya/cerita rakyar impor dari dunia barat (Eropa), Jepang, atau Korea misalnya. Hal ini sebenarnya menjadi modal histroris-kultural yang baik untuk menggali makna, nilai dan aplikasi konkret dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, proses sosialisasi dan edukasi generasi muda dengan sarana ini tentu amat perlu digiatkan.
Penanaman Spirit Kebhinekaan dalam Kisah Kerakyatan Nusantara
Hidup bersama dan merayakan perbedaan sesungguhnya sudah menjadi ” dalamkekayaan tradisi cerita kerakyatan Indonesia sendiri. Peristiwa Sumpah Pemuda (1928) misalnya, merupakan hasil kristalisasi dari spirit kisah Sumpah Palapa Gajah Mada tentang Bumi Nusantara. Selanjutnya, Soekarno, sang proklamator kemerdekaan Indonesia menegaskan bahwa Pancasila, sebagai dengan spirit persatuan –nya, direfleksikan dari kearifan lokal Indonesia, khususnya spirit persatuan dalam kisah tradisi Bali yang terangkai dalam ungkapan ’(tiada dualitas dalam /kebenaran).
Dalam refleksi kebhinekaan lainnya, kisah/konsep tradisi dan kisah kerakyatan Ain Ni Ain orang Kei, Maluku, misalnya, juga menegaskan karakter persatuan di tengah keragaman ini dalam kisah dan ungkapan ”manut ain mehe tilur” yang berarti ”butir-butir telur dari seekor ayam”. ”Figur” ayam di sini melambangkan seorang ibu yang tidak saja melahirkan anak-anak melainkan terutama menjadi alasan persatuan anak-anaknya.[17]
Belajar dari tradisi dan kisah-kisah ini, generasi muda tentu bisa menemukan makna gotong royong yang digali dari spirit asli masyarakat Indonesia sendiri. Tentunya pekerjaan rumah para pendidik (formal maupun non-formal) saat ini adalah mengemas cerita rakyat sarat makna ini dalam bentuk yang ”bersahabat”. Secara formal, pendekatan naratif perlu dimaksimalkan pemanfaatannya, khususnya dalam fase pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak, melalui kisah-kisah kepahlawanan daerah yang bernilai mempersatukan.
Secara informal, pendidikan karakter berbasis sastra rakyat nusantara dapat ditumbuhkan mulai dari upaya revitalisasi tradisi bercerita orang tua kepada anak, menghidupkan aneka komunitas mendongeng[18], produksi dan distribusi buku atau komik cerita rakyat cetak maupun digital yang menarik[19], film-film (animasi) hingga aplikasi kisah rakyat yang sarat makna persatuan. Jika hal-hal ini sungguh digiatkan, anak Indonesia bisa semakin mencintai kisah-kisah dan tokoh-tokoh pahlawan kerakyatan yang bisa menginspirasi mereka, bukan dibombardir oleh kisah-kisah ”impor” yang justru bisa saja mengandung ujaran kebencian pada yang sesama yang berbeda. Generasi muda perlu dibiasakan belajar tentang nilai-nilai kebhinekaan serta keutamaan lainnya dari tradisi kerakyatan mereka sendiri. Globalisasi memang tak terhindarkan, namun kontekstualisasi dan indigenisasi tetap diperlukan agar khazanah budaya asli Indonesia yang sarat makna edukatif tak tergerus. ”Berpikir global, bertindak lokal!”.
Penutup
Impian menciptakan generasi muda yang berkualitas bukanlah sebuah utopia. Jika manusia Indonesia sungguh-sungguh menghormati budaya kesusastraannya, cita-cita menciptakan generasi muda yang gemilang menjadi mungkin diwujudkan. Dari sistem pendampingan yang baik akan dihasilkan generasi muda khas Indonesia yang berkarakter inklusif dan saling menghormati, sehingga isu-isu SARA yang diserukan kaum populis dengan sendirinya akan dianggap ”kadaluwarsa” dan tidak relevan lagi.
Kita tentu bisa belajar dari berbagai bangsa lain yang sudah lebih maju dan berkembang. Kedewasaan berpolitik dalam proses demokrasi di London, Inggris misalnya, ditegaskan dengan terpilihnya walikota mereka tanpa melihat latar belakang SARA sang calon pemimpin. Hal ini sesungguhnya bisa menjadi contoh spirit demokrasi yang inklusif. Sebagaimana diketahui, Sadiq Khan (45), dipastikan terpilih menjadi Wali Kota London, Inggris, pada Jumat (6/5/2016) waktu setempat, yang notabene mayoritas penduduknya beragama Kristen. Di Eropa yang juga tak luput dilanda isu [20], Khan menjadi Muslim kedua yang terpilih menjadi wali kota, setelah sebelumnya ada Ahmed Aboutaleb yang menjadi Wali Kota Rotterdam, Belanda. [21]
Kesusksesan negara-negara maju membangun peradabannya tak lepas dari peranan sastra dalam menanamkan nilai keutamaan dan semangat kebangsaan. Di Inggris, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib bagi siswa sekolah dasar untuk menanamkan tradisi etis dan kebudayaan masyarakat tersebut. Gerakan sejenis juga diterapkan negara lain seperti Swedia dan Prancis.[22] Bapak Proklamasi kita, Ir.Soekarno pernah berkata, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” (JASMERAH -termasuk kekayaan tradisi dan makna kisah kerakyatannya).
Dari sanalah kita dapat mengukur seberapa cerah cahaya mentari masa depan bangsa kita terpancar dalam karakter insan bangsa yang cinta tanah air, cinta damai, bersatu dan berintegritas. Jika sungguh demikian, seruan kaum populis yang memecah belah pun tak akan bergema, karena nurani kebhinekaan sudah tertanam dalam jati diri keindonesiaan generasi muda bangsa ini setelah terperisaikan oleh khazanah kisah rakyat sarat makna ini.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Bertens, K.. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Latif, Yudi. 2009. Menyelami Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Penerbit Kompas.
Levi-Strauss, Claude. 2005. (Terj. INA oleh L.P. Hok). Mitos dan Makna: Membongkar Kode-kode Budaya. Tangerang: PT. Cipta Lintas Wacana.
Riyanto, Armada dkk.. (ed.). 2015. Kearifan Lokal–Pancasila Butir-butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta, Kanisius.
Sulistiati dkk.. 1994. Cerita Rakyat Nusantara: Analisis Struktur dan Fungsi Penjelmaan dalam Cerita. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Artikel Cetak
Alhumami, Amich. ”Implementing mental revolution through education”, dalam Opini The Jakarta Post, Sabtu, 11 Oktober 2014, hlm. 6.
Kleden, Ignas. “Plato dan Pendidikan Politik” disampaikan dalam Makalah Diskusi Buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan di Balai Agung, Kantor Gubernur Jakarta, 3 November 2014.
Siregar, Hotma. “Pluralisme sebagai Kekuatan” dalam Suplemen Kemerdekaan Indonesia 67 Tahun, Majalah Tempo, Edisi 20-26 Agustus 2012.
Siswono, Eko (dkk.). “Penghargaan Basuki Tjahaja Purnama”dalam Kolom Album Majalah Tempo, Edisi 16-22 Mei 2016, hlm. 12.
Sulistyowati, Ayu. “Baladewa, Komik Sastra Indonesia yang Mendunia” dalam Kompas Cetak, 21 Mei 2016, hlm. 1 dan 15.
Artikel Media Online
Akbar, M.. “Jegal Ahok, Habib Rizieq Gelar Konvensi Gubernur Muslim”, dalam http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/16/02/26/o35i8f336-jegal-ahok-habib-rizieq-gelar-konvensi-gubernur-muslim, diunduh pada 8 Maret 2017, pk. 21.30 WITA.
Erdianto, Kristian. “Populisme, Kesenjangan dan Ancaman terhadap Demokrasi”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/01/16/07444731/populisme.kesenjangan.dan.ancamanterhadap.demokrasi., diunduh pada 3 April 2017, pk. 15.00 WITA.
Hidayatullah-red, “Dr. Michael Privot: Islamophobia adalah Tindakan Rasis”, dalam https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/11/25/83868/dr-michael-privot-islamophobia-adalah-tindakan-rasis.html, diunduh pada 28 Maret 2017, pk. 18.17 WITA.
Husnaina, Nani. “Pudarnya Budaya Mendongeng”, dikutip dari http://ceritarakyatnusantara.com/id/article/70-Pudarnya-Budaya-Mendongeng, diunduh 1 Maret 2017, pk.15.15 WITA.
Rifki, Achmad. “Setara Institute: Membiarkan Intoleransi Sama dengan Merawat Bibit Terorisme”, dalam http://www.madinaonline.id/s5-review/isu-media/setara-institute-membiarkan-intoleransi -sama-dengan-merawat-bibit-terorisme/, diunduh pada 25 Maret 2017, pk. 20.30 WITA.
Sodikin, Amir. “Sadiq Khan Terpilih Jadi Wali Kota Muslim Pertama di London” dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/05/07/00512681/Sadiq.Khan.Terpilih.Jadi.Wali.Kota.Muslim.Pertama.di.London?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd, diunduh pada 29 Maret 2017, pk. 22.00 WITA.
Subekti, Nanang Bagus. “Memaknai Kembali Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara” dalam http://nasional.sindonews.com/read/980100/162/memaknai-kembali-konsep-pendidikan -ki-hadjar-dewantara-1427086654, diunduh pada 27 Maret 2017, pk. 16.00 WITA.
Tim Ayo Dongeng Indonesia. “Komunitas Ayo Dongeng Indonesia”, dalam http://ayodongengindonesia.com/komunitas-ayo-dongeng-indonesia/, diunduh pada 27 Maret 2017, pk. 22.30 WITA.
Tim KBBI Online. Entri “Primordialisme”, dalam http://kbbi.web.id/primordialisme, diunduh pada 28 Maret 2017, pk. 19.00 WITA.
[1] Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari gambaran demografi negeri ini yang terdiri dari 726 suku bangsa, 116 bahasa daerah dan 6 agama (besar). Hal ini disarikan dari Hotma Siregar, “Pluralisme sebagai Kekuatan” dalam Suplemen Kemerdekaan Indonesia 67 Tahun, Majalah Tempo, Edisi 20-26 Agustus 2012.
[2] Hal ini disarikan dari Achmad Rifki, “Setara Institute: Membiarkan Intoleransi Sama dengan Merawat Bibit Terorisme”, dalam http://www.madinaonline.id/s5-review/isu-media/setara-institute-membiarkan-intoleransi-sama-dengan-merawat-bibit-terorisme/, diunduh pada 25 Maret 2017, pk. 20.30 WITA.
[3] Uraian lebih lanjut dapat disimak di Kristian Erdianto, “Populisme, Kesenjangan dan Ancaman terhadap Demokrasi”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2017/01/16/07444731/populisme.kesenjangan.dan.ancaman. terhadap.demokrasi., diunduh pada 3 April 2017, pk. 15.00 WITA.
[4] Pejabat Gubernur DKI Jakarta sejak 19 November 2014, melanjutkan periode pemerintahan gubernur sebelumnya, Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, sekaligus Calon Gubernur Petahana untuk Pilkada DKI Jakarta periode 2017-2022.
[5] Hal ini nyata dalam penolakan Gubernur non-Muslim di Jakarta. M. Akbar, “Jegal Ahok, Habib Rizieq Gelar Konvensi Gubernur Muslim”, dalam http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/16/02/26/o35i8f336-jegal-ahok-habib-rizieq-gelar-konvensi-gubernur-muslim, diunduh pada 8 Maret 2017, pk. 21.30 WITA. Tentu hal semacam ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 28 D (3) yang berbunyi; “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.’
[6] Gubernur Basuki Tjahaja Purnama memperoleh sejumlah penghargaan. Beberapa diantaranya adalah penghargaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Kategori Provinsi dengan Perencanaan Terbaik, Provinsi dengan Perencanaan Inovatif, Pencapaian Indikator Millenium Development Goals (MDGs) Terbaik tahun 2013-2015 dan Tingkat Pencapaian MDGs tertinggi tahun 2015. Eko Siswono (dkk.), “Penghargaan Basuki Tjahaja Purnama” dalam Album Majalah Tempo, Edisi 16-22 Mei 2016, hlm. 12.
[7] Primordialisme/pri·mor·di·al·is·me/n perasaan kesukuan yang berlebihan. Definisi ini dikutip dari http://kbbi.web.id/primordialisme, diunduh pada 28 Maret 2017, pk. 19.00 WITA.
[8] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002), hlm. 4.
[9] Hal ini terelaborasi dalam konsep Tri-Nga, yakni Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik) yang memungkinkan seorang peserta didik memahami, menginternalisasikan dan mempraktikkan nilai-nilai keutamaan dalam kehidupan. Disarikan dari Nanang Bagus Subekti, “Memaknai Kembali Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara” dalam http://nasional.sindonews.com/read/980100/162/memaknai-kembali-konsep-pendidikan-ki-hadjar-dewantara-1427086654, diunduh pada 27 Maret 2017, pk. 16.00 WITA
[10] Amich Alhumami, ”Implementing mental revolution through education”, dalam Opini The Jakarta Post, Sabtu, 11 Oktober 2014, hlm. 6.
[11] Di zaman itu (± 5 abad SM), sebenarnya sudah ada ilmu yang dikembangkan manusia, seperti ilmu ukur dan ilmu hitung yang berasal dari peradaban Mesir dan Babylonia. Namun, baru setelah pengolahan unsur-unsur tersebut oleh orang-orang Yunani, ilmu-ilmu tersebut memiliki corak yang sungguh-sungguh ilmiah. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. (Yogyakarta: Kanisius,1999), hlm. 19-20.
[12] Disarikan dari K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hlm. 20.
[13] Ignas Kleden, “Plato dan Pendidikan Politik” disampaikan dalam Makalah Diskusi Buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan di Balai Agung, Kantor Gubernur Jakarta, 3 November 2014.
[14] Bdk. Claude Levi-Strauss, (Terj. INA oleh L.P. Hok), Mitos dan Makna: Membongkar Kode-kode Budaya, (Tangerang: PT. Cipta Lintas Wacana, 2005), hlm. 10.
[15] Nani Husnaina, “Pudarnya Budaya Mendongeng”, dikutip dari http://ceritarakyatnusantara.com/id/article/70-Pudarnya-Budaya-Mendongeng, diunduh 1 Maret 2017, pk.15.15 WITA.
[16] Sulistiati dkk., Cerita Rakyat Nusantara: Analisis Struktur dan Fungsi Penjelmaan dalam Cerita (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), hlm. 83-85.
“Bhinneka Tunggal Ika” = Berbeda-beda Namun Tetap Satu. Hal ini disarikan dari Johanis Ohoitimur, ”Ain Ni Ain: Paham Persatuan Orang Kei” dalam Armada Riyanto, dkk. (ed.), Kearifan Lokal–Pancasila Butir-butir Filsafat Keindonesiaan (Yogyakarta, Kanisius, 2015), hlm. 262. Selain itu, Tradisi Tongkonan Masyarakat Toraja bukanlah sekedar kisah tentang rumah adat, tetapi simbol kehidupan harmonis-persekutuan di tengah keberagaman.
[18] Salah satu terobosan yang diupayakan para relawan pemerhati pendidikan adalah didirikannya sejenis komunitas mendongeng seperti Ayo Dongeng Indonesia yang berkomitmen pada kampanye kegiatan mendongeng bagi anak di Indonesia untuk menginspirasikan dan memotivasi pengembangan imajinasi dan penanaman nilai kebhinekaan. Info lebih lanjut dapat dicek di http://ayodongengindonesia.com/ komunitas-ayo-dongeng-indonesia/, diunduh pada 27 Maret 2017, pk. 22.30 WITA.
[19] Salah satu contoh terkini produksi karya sastra rakyat asli Indonesia yang bersifat hiburan sekaligus edukatif (berupa komik digital) berjudul Chronicle of Calonarang: Baladeva, produksi Trantraz Comics Bali bisa menjadi pemicu munculnya karya-karya sejenis sebagai sarana alternatif pendidikan karakter generasi muda yang digali dari kearifan lokal. Disarikan dari Ayu Sulistyowati, “Baladewa, Komik Sastra Indonesia yang Mendunia” dalam Kompas Cetak, 21 Mei 2016, hlm. 1 dan (Sambungan) 15.
[20] Islamophobia: Ketakutan terhadap Islam sebagai suatu tindakan rasis terhadap kaum muslim, baik secara individu, kelompok maupun organisasi. Islamophobia mulai muncul seiring perkembangan isu seputar terorisme, ISIS, atau segala hal negatif yang dihubungkan dengan Islam. Disarikan dari Hidayatullah-red, “Dr. Michael Privot: Islamophobia adalah Tindakan Rasis”, dalam https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/11/25 /83868/dr-michael-privot-islamophobia-adalah-tindakan-rasis.html, diunduh pada 28 Maret 2017, pk. 18.17 WITA.
[21] Berita disarikan dari Amir Sodikin, “Sadiq Khan Terpilih Jadi Wali Kota Muslim Pertama di London” dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/05/07/00512681/Sadiq.Khan.Terpilih.Jadi.Wali.Kota.Muslim.Pertama.di. London?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd, diunduh 29 Maret 2017, pk. 22.00 WITA.
[22] Disarikan dari Yudi Latif, Menyelami Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Jakarta: Penerbit Kompas, 2009), hlm 84-85.
![endif]--