SILENCE: TUHAN YANG DIAM ATAU GEREJA YANG DIAM? Diskusi Komunitas Duns Scotus
Saudara Muda Fransiskan Komunitas Duns Scotus menggelarkan diskusi Mingguan yang dilaksanakan setiap hari Jumat malam (08.00 sampai selesai). Dalam diskusi minggu ini membahas novel karya Sushaku Endo yang berjudul Silence. Dalam novel ini menggambarkan dinamika perkembangan agama Kristen dalam perjumpaan dengan budaya Jepang. Sdr. Yeri Lando OFM menjadi pemateri pada diskusi kali ini dengan mengangkat tema “SILENCE: Tuhan yang diam atau Gereja yang diam?” di Ruang Pertemuan Komunitas Duns Scotus, (09/10/2017).
Dalam ulasannya, Sdr. Yerrri membahas latar belakang konteks sosial, perjumpaan Agama Kristen dengan Masyarakat Jepang dan penindasan yang dialami oleh umat Kristiani dari sudut pandang sosiaologis. Ketika mendengar kata “Silence” tentulah banyak dari kita yang langsung mengingat judul dari sebuah novel terlaris karya Sushaku Endo. Novel ini kemudian menghasilkan sebuah film yang disutradarai oleh Martin Scorsese.
Kisah dari film yang dirilis tahun 2016 ini, adalah menampilkan bagaimana agama Kristen masuk ke Jepang dan bagaimana penindasan yang dialami oleh misionaris pertama dan umat Kristen yang tetap setia. Walau sempat mendapat kritikan dari berbagai ahli di Amerika yang berpandangan bahwa kisah ini hanya untuk mencapai kepopuleran semata, tapi tidak sedikit pula para ahli yang menganggap bahwa novel karya Sushaku Endo ini adalah suatu karya yang penting dan bernilai sejarah.
“Novel ini sudah membawa kita pada suatu sejarah yang mungkin selama ini dilupakan bahwa Agama Katolik beberapa abad yang lalu pernah hadir di negeri Matahari terbit. Novel Silence menghadirkan secuil kisah dari perjuangan agama Katolik pada zaman itu. Orang-orang katolik di Jepang mengalami nasib seperti jemaat Kristen yang ditindas oleh kekasisaran Romawi.” Ungkap mahasiswa semester V STF Driyarkara ini.
Lebih lanjut, pencinta sepak bola ini mengungkapkan Novel tersebut bukan hanya mengajarkan tentang suatu situasi dari sudut pandang tertentu. Namun kisah itu pun memberi pelajaran kehidupan tentang menjaga bagaimana mempertahankan kehidupan Rohani. Selain itu juga, banyak nilai reflektif yang meskipun hanya mempunyai porsi sedikit dalam diskusi ini untuk dibahas, tetapi keutamaan-keutamaan dan nila-nilai yang terkandung dalam novel tersebut dapat dimaknai.
Salah satu peserta dalam diskusi tersebut, mengunkapkan bahwa diskusi ini tidak hanya menambahkan wawasan pengetahuan tapi juga memberikan kesadaran moral. “bagi saya, kisah tentang segelintir umat Katolik di Jepang adalah kisah yang menggugah hati dan sangat menginspirasi. Perjuangan dan daya tahan mereka diuji ketika terjadi pengejaran dan penganiayaan, tapi mereka tetap saja setia walaupun nyawa mereka terancam. Bagi saya pribadi belum tentu saya bisa seperti mereka,” ungkap sdr. Markus.
Sdr. Yeri Lando yang berperan sebagai pemateri pada diskusi kali ini, secara khusus mengambil suatu ruang pembahasan dari sudut pandang situasi sosial masyarakat Jepang saat itu (antara abad XVI-XIX). Berawal dari rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan pemerintah Jepang terhadap masyarakat Eropa yang saat itu diisi oleh para pedagang dan misionaris. Ditambah lagi kegelisahan pemerintah Jepang yang mengira bahwa para misionaris inilah yang menjadikan agama sebagai suatu model senjata yang bisa mempengaruhi masyarakat dan akhirnya merebut kekuasaan.
Alasan ini pun bisa dilihat dari kenyataan yang terjadi pada bangsa-bangsa di Amerika latin atau Filipina, yang waktu itu dikuasai oleh bangsa Spanyol dan Portugis. Situasi politik tersebut berdampak besar bagi tugas mulia dari para misionaris untuk mewartakan kabar sukacita Injil. Karena sebelumnya para Misionaris mampu menghasilkan banyak pengikut (sekitar 400.000 orang).
Misi ini diganjar dengan berbagai kepentingan politik serta alasan bahwa kehadiran orang kristen mengganggu masyarakat Jepang dan agama asli mereka yakni agama Shinto. Karena ketakutan itu, Para Misionaris dipulangkan dan hal tersebut menghambat misi mewartakan kerajaan Allah bagi masyarakat Jepang. Orang-orang Kristen dipaksa dengan berbagai cara untuk menjadi murtad. Meskipun dikejar dan dalam kondisi terancam, terdapat pula segelintir orang Kristen yang masih tetap setia. Mereka tetap melakukan doa bersama walaupun mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Di samping itu, Sdr. Yerri juga menguraikan arti silence yang menjadi pokok pembahasan dalam Novel tersebut. “Menurut saya, arti silence yang digambarkan dalam novel tersebut adalah Tuhan tidak memberikan jalan keluar ketika umatnya mengalami kesulitan. Tuhan tidak terlihat dan sepertinya hanya dia ketika Padre Rodrigues menghadapi ujian hidup yang paling berat. Arti lain dari silence menurut saya adalah para misionaris ditinggalkan. Ketika mereka dalam kesulitan dan harus mengambil keputusan yang sulit, Tuhan justru tidak ada.
Selain itu saya melihat arti silence sebagai operasi hening orang Kristen. Orang Kristen di sana dalam menyebarkan ajaran agama Kriten dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tegasnya.