Ekaristi: Misteri Iman yang Agung
1. Pengantar
Ekaristi adalah suatu misteri iman, yang sungguh rangkuman dan ringkasan iman kita. Iman Gereja pada hakekatnya adalah iman yang ekaristis dan secara istimewa dipupuk pada meja ekaristi. Iman dan sakramen adalah dua segi kehidupan Gerejawi yang saling melengkapi. Dibangkitkan oleh pemakluman Sabda Allah, iman dipupuk dan bertumbuh dalam perjumpaan penuh rahmat dengan Tuhan yang bangkit, yang terjadi dalam sakramen: iman diungkapkan dalam ritus, sementara ritus menguatkan dan menguduskan iman.[1] Berdasarkan uraian pengertian ekaristi menurut Sacramentum Caritatis nomor 6, penulis akan menguraikan enam bagian pokok. Pertama, Asal-Usul, Pengertian, dan Istilah Lain untuk Ekaristi. Kedua, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, Mimbar Sabda, Mimbar Ekaristis (Altar), Ritus, dan Rubrik. Ketiga, Hubungan Sakramen dengan Rahmat. Keempat, Ekaristi Sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja. Kelima, Pentingnya Perayaan Ekaristi Pada Hari Minggu, Dies Domini, dan Dies Ecclesiae. Keenam, Imam (Pemimpin Perayaan Ekaristi) Sebagai In Persona Christi et Ecclesiae.
2. Asal-Usul, Pengertian, dan Istilah Lain untuk Ekaristi[2]
2.1 Asal-Usul dan Pengertian Ekaristi
Ekaristi berasal dari kata eucharistia (Yunani) yang berarti puji syukur. Eucharistia merupakan kata benda, berasal dari kata kerja bahasa Yunani (eucharistein) yang berarti memuji dan mengucap syukur. Dalam KSPB Perjanjian Baru, eucharistein digunakan secara bersama dengan eulogein yang berarti memuji dan bersyukur. Eucharistein dan eulogein digunakan untuk menerjemahkan kata kerja bahasa Ibrani (barekh) yang berarti memuji dan memberkati. Sedangkan kata benda untuk barekh adalah berakhah. Berdasarkan tradisi liturgi Yahudi, berakhah digunakan dalam konteks doa berkat perjamuan. Doa berkat perjamuan meliputi pujian, syukur, dan permohonan. Doa berkat berlangsung dalam perjamuan makan Yahudi, doa berkat atas roti (sebelum perjamuan makan) dan piala (sesudah perjamuan makan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata ekaristi berasal dari doa berkat yang berlangsung dalam perjamuan makan Yahudi.
Pada intinya, kata ekaristi menunjuk isi perayaan dalam rangkaian perayaan ekaristi.[3] Kata ekaristi mengungkapkan pujian syukur atas karya penyelamatan Allah, terlaksana melalui Yesus Kristus dan berpuncak dalam peristiwa wafat serta kebangkitan-Nya. Melalui pujian dan syukur, Gereja mengenangkan dan menghadirkan misteri penebusan Kristus, saat ini dan disini.[4]
2.2 Istilah Lain untuk Ekaristi
Dalam sejarah liturgi Gereja, ada berbagai macam istilah yang digunakan untuk mengungkapkan ekaristi, misteri iman yang agung. Terdapat banyak pemahaman dan pengertian yang diberikan Gereja untuk misteri ekaristi. Karena ekaristi merupakan misteri iman yang tidak pernah habis digali. Tidak ada satu istilah pun yang dapat merangkum secara penuh dan tuntas seluruh kekayaan misteri ekaristi. Namun, banyak istilah mengenai ekaristi tidak digunakan lagi. Misalnya istilah sinaksis, dalam bahasa Yunani (synaxis) berarti perjamuan jemaat. Istilah sinaksis pernah digunakan pada zaman patristik sampai abad VI untuk menyebut perayaan ekaristi. Sinaksis muncul kembali setelah Konsili Vatikan II, seperti dalam Lumen Gentium nomor 28. Selain itu, istilah sacramentum, sacrum, dan liturgi saat ini sudah tidak digunakan. Perayaan Ekaristi memiliki berbagai macam sebutan dalam Gereja. Misalnya, “Liturgi Ilahi” (Gereja Ortodoks Yunani), “Komuni Suci” (Gereja Anglikan), “Misteri-Misteri” (Gereja Siria Barat), “Pengudusan atau Oblatio” (Gereja Koptik), Misa,[5] Pemecahan Roti,[6] Perjamuan Tuhan (Dominica Cena),[7] Sacrificium dan Oblatio[8].
2.3 Misteri Iman dan Iman Ekaristis
2.3.1 Misteri Iman[9]
Misteri iman merupakan rencana kasih Allah bagi keselamatan manusia yang dinyatakan dalam Kristus. Misteri tersebut diwahyukan secara penuh dalam Kristus. Namun, Allah yang penuh misteri tersebut mengatasi budi dan pemahaman manusia. Meskipun Allah disebut dengan berbagai macam nama, namun akhirnya Allah tidak dapat diberi nama. Karena pada dasarnya bukan budi manusia yang menggapai Allah, melainkan kemuliaan Ilahi yang merangkul manusia. Teologi dan ajaran resmi Gereja sekarang ini menekankan kesatuan pewahyuan diri Allah.
2.3.2 Iman Ekaristis
Iman ekaristis merupakan kebenaran objektif, yang diwahyukan dan dipercaya (fides quae) atau penyerahan diri secara pribadi kepada Allah (fides qua). Orang beriman berkat bantuan Roh Kudus. Iman adalah tanggapan yang bebas, bertanggung jawab, dan utuh.[10] Dengan iman, kita mengakui kebenaran pewahyuan Ilahi yang definitif dalam Kristus, taat mengikatkan diri dan mempercayakan masa depan kepada Allah.[11]
3. Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, Mimbar Sabda, Mimbar Ekaristis, Ritus, dan Rubrik
3.1 Liturgi Sabda
Liturgi sabda tersusun dalam dua struktur pokok, pewartaan sabda Allah dan tanggapan umat atas sabda Allah. Oleh karena itu, liturgi sabda memuat suatu dialog perjumpaan antara Allah yang bersabda dan umat yang menanggapi sabda Allah.[12] Pewartaan sabda Allah dilaksanakan dalam pembacaan Kitab Suci dan homili. Tanggapan umat atas sabda Allah terungkap melalui mazmur tanggapan, bait pengantar Injil, syahadat, dan doa umat. Sejak abad-abad pertama, liturgi sabda menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari luturgi ekaristi. Bukti historis paling penting adalah tulisan Santo Yustinus Martir yang menceritakan struktur dasar perayaan ekaristi. Perlu diketahui bahwa struktur liturgi atau ibadat sabda berakar pada tradisi ibadat Yahudi di Sinagoga.
Sudah sejak lama, bacaan-bacaan yang disampaikan dalam liturgi sabda diambil dari Kitab Suci. Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.[13] Pada dasarnya, seluruh bagian liturgi sabda hendaknya dilangsungkan dari mimbar. Karena mimbar menjadi pusat perhatian umat selama liturgi sabda.[14] Bacaan-bacaan, baik bacaan pertama, kedua, dan Injil dimaklumkan dari mimbar.[15] Selain itu, mazmur tanggapan, homili, syahadat, dan doa umat juga disampaikan dari mimbar.[16]
3.2 Liturgi Ekaristi
Liturgi ekaristi menjadi pusat seluruh perayaan ekaristi. Karena dalam liturgi ekaristi terdapat doa syukur agung yang menjadi pusat dan puncak seluruh perayaan ekaristi.[17] Tanpa adanya liturgi ekaristi, suatu perayaan tidak dapat disebut perayaan ekaristi. Dalam liturgi ekaristi, terdapat kekhasan dan keagungan perayaan ekaristi Gereja sepanjang masa. Selain itu, fokus perhatian bukan hanya pada doa syukur agung, tetapi juga pada doa bapa kami, yang diajarkan oleh Yesus.[18] Perlu didaraskan dengan penuh penghayatan. Kalau dinyanyikan, maka lagunya bernada doa.
Struktur liturgi ekaristi berakar dari perayaan perjamuan malam terakhir yang diadakan Yesus bersama dengan para murid-Nya. Perayaan ekaristi dilaksanakan dalam Gereja menurut perintah Tuhan sendiri, lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku (Lukas 22:19). Justru untuk mengenangkan Tuhan Yesus yang telah melaksanakan karya penyelamatan Allah melalui peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya itulah Gereja dengan setia merayakan ekaristi. Yang dikenang oleh Gereja adalah misteri karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui wafat dan kebangkitan Kristus. Namun, bentuk pengenangannya menggunakan apa yang dahulu dilakukan dan disabdakan oleh Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir.
3.3 Mimbar Sabda
Mimbar sabda merupakan tempat menyampaikan atau memaklumkan seluruh bagian liturgi sabda. Karena mimbar sabda menjadi pusat perhatian umat selama liturgi sabda. Oleh karena itu, bacaan-bacaan yang meliputi bacaan pertama, bacaan kedua, dan Injil dimaklumkan dari mimbar sabda.[19] Demikian pula dengan mazmur tanggapan, homili, syahadat, dan doa umat juga disampaikan dari mimbar sabda.[20]
3.4 Mimbar Ekaristis (Altar)[21]
Kata “altar” berasal dari kata Latin (altare), tempat api untuk pembakaran kurban. Pada mulanya altar merupakan meja yang dapat dipindahkan untuk penyimpanan roti dan anggur. Sejak abad IV, altar dibuat dari batu yang kuat dan sulit dipindahkan. Ketika Gereja masuk milenium kedua, altar didekatkan dan menempel pada dinding Gereja. Oleh karena itu, liturgi semakin jauh dari umat. Dalam pembaharuan liturgi abad XX (Konsili Vatikan II), altar dekat dengan umat dan menjadi pusat peribadatan. Hal ini bertujuan untuk mengungkapkan makna dialog dan makna Gereja sebagai umat Allah.
3.5 Ritus[22]
Ritus (Rite) merupakan cara merayakan upacara keagamaan atau merayakan sakramen. Ritus juga dapat berarti suatu kompleks upacara yang dilaksanakan oleh Gereja tertentu. Di Barat, ritus-ritus seperti misalnya ritus Ambrosian di Milano mempunyai sedikit perbedaan dengan ritus Latin yang biasa. Namun, di lingkungan orang-orang Katolik Timur, ritus tidak hanya menunjukkan adanya sedikit perbedaan dalam liturgi, melainkan juga seluruh gaya hidup Gereja tertentu yang mempunyai spiritualitas dan disiplin khusus. Saat ini, di Timur terdapat tujuh ritus besar: Armenia, Bizantium, Koptik, Siria Timur (Asiro-Kalden), Etiopia, Maronit (Siro-Maronit), dan Siria Barat (Antiokia). Ketujuh ritus ini terdapat baik dalam tradisi Katolik maupun Ortodoks, kecuali ritus Maronit terdapat dalam Gereja Katolik saja.
3.6 Rubrik[23]
Rubrik (Rubric) merupakan petunjuk yang dicetak dengan huruf berwarna merah, bersama dengan teks (warna hitam) yang dibacakan atau dinyayikan dalam upacara liturgis. Rubrik menunjukkan bagaimana suatu upacara harus dilaksanakan.
4. Hubungan Sakramen dengan Rahmat
4.1 Sekilas Tentang Sakramen[24]
Sakramen (Sacrament) merupakan tanda kelihatan yang diadakan oleh Kristus untuk menyatakan dan menyampaikan rahmat. Gereja Katolik dan Ortodoks menerima tujuh sakramen (baptisan, penguatan, ekaristi, perkawinan, tahbisan, pengurapan orang sakit, dan tobat). Orang-orang Kristiani Timur menyebut sakramen sebagai mysterion (Yunani), realitas tersembunyi. Pada umumnya orang-orang Protestan hanya mengakui dua sakramen, baptisan dan ekaristi. Perlu diketahui bahwa tiga sakramen (baptisan, penguatan, dan imamat) memberikan materi abadi dan tidak dapat diterima ulang. Dalam teologi modern, dibicarakan mengenai Kristus sebagai sakramen utama atau tanda rahmat Allah yang berdaya guna. Sedangkan Gereja yang didirikan-Nya sebagai sakramen dasar, diwujudnyatakan dalam tujuh sakramen.
4.2 Sekilas Tentang Rahmat[25]
Rahmat (Grace) merupakan anugerah atau pertolongan yang diberikan oleh Allah. Rahmat yang utama adalah anugerah penyelamatan oleh Kristus, karena iman, dan ditawarkan oleh Allah kepada semua orang. Kepenuhan rahmat Kristus melahirkan manusia secara baru. Anugerah Roh Kudus menjadikan manusia anak-anak Allah dan anggota tubuh Kristus. Sedangkan komunikasi diri Allah berarti pengilahian hidup manusia, mengangkat hubungan antara makhluk dan pencipta ke tingkatan baru dan tidak terbayangkan. Oleh karena itu, mengubah kodrat manusia dan menjadi antisipasi kehidupan surgawi. Sejak awal orang-orang Kristiani mengakui peranan sakramen-sakramen dalam kehidupan rahmat. Misalnya, melalui baptis manusia diampuni, dibenarkan, dan dikuduskan.
4.3 Hubungan Sakramen dengan Rahmat
Sakramen merupakan tanda kelihatan yang diadakan oleh Kristus untuk menyatakan dan menyampaikan rahmat. Dalam teologi modern, dibicarakan mengenai Kristus sebagai sakramen utama atau tanda rahmat Allah yang berdaya guna. Sedangkan Gereja yang didirikan-Nya merupakan sakramen dasar yang diwujudnyatakan dalam tujuh sakramen. Sejak awal, orang-orang Kristiani mengakui peranan sakramen dalam kehidupan rahmat. Misalnya, melalui baptis manusia diampuni, dibenarkan, dan dikuduskan.
5. Ekaristi Sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja
Ekaristi bukan hanya pusat dari seluruh liturgi Gereja. Tetapi ekaristi juga menjadi sumber dan puncak kehidupan Gereja.[26] Pernyataan senada diungkapkan dalam Sacrosanctum Concilium nomor 10 yang menyatakan bahwa liturgi menjadi sumber dan puncak seluruh kegiatan Gereja. Meskipun pada dasarnya liturgi tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja.[27] Karena perayaan ekaristi merupakan pusat dan puncak liturgi. Oleh karena itu, ekaristi dinyatakan Konsili Vatikan II sebagai sumber dan puncak kehidupan Gereja. Perlu diketahui bahwa ekaristi tidak pernah dipisahkan dari seluruh bidang kehidupan umat Kristiani, kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pernyataan ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh kehidupan Gereja menunjukkan perhatian Konsili Vatikan II, menghubungkan ekaristi dengan seluruh spiritualitas hidup Gereja.
6. Pentingnya Perayaan Ekaristi Pada Hari Minggu, Dies Domini, dan Dies Ecclesiae
Perayaan ekaristi selalu dihubungkan dengan pertemuan jemaat Kristiani pada hari Minggu.[28] Dalam pertemuan tersebut, dirayakan perayaan pemecahan roti. Berdasarkan sejarah, jemaat Kristiani perdana memiliki kebiasaan berkumpul pada hari Minggu. Karena pada hari itu Tuhan bangkit. Selain itu, kebiasaan dan keyakinan ini ditegaskan oleh Konsili Vatikan II.[29]
Menurut Plinius,[30] jemaat Kristiani mempunyai kebiasaan merayakan ekaristi pada hari Minggu pagi. Karena Kristus bangkit pada hari Minggu pagi. Pelaksanaan perayaan ekaristi pada hari Minggu pagi berkaitan dengan alasan teologis. Santo Yustinus juga menulis secara eksplisit kebiasaan pertemuan jemaat Kristiani pada hari Minggu.[31]
Selain alasan pokok yang bersifat teologis, orang-orang Kristiani berkumpul pada hari Minggu pagi juga karena alasan praktis yang tentu saja bersifat sekunder.[32] Mereka harus bekerja pada siang hari. Oleh karena itu, waktu terbaik untuk berkumpul adalah pagi hari. Perlu kita ingat bahwa hari Minggu pada waktu itu belum menjadi hari libur seperti sekarang ini. Hari Minggu menjadi hari libur dimulai sejak abad IV, sesudah agama Kristiani bebas dan menjadi agama negara di kekaisaran Romawi.
7. Imam (Pemimpin Perayaan Ekaristi) Sebagai in Persona Christi et Ecclesiae
Para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan, para imam merupakan pembantu dan penasihat para uskup dalam pelayanan, mengajar, menguduskan serta menggembalakan umat Allah.[33] Dalam perayaan ekaristi, imam berperan untuk membawakan Pribadi Kristus (in persona Christi).[34] Selain itu, imam sekaligus menjadi saksi dan pelayan seluruh Gereja. Sedangkan Yohanes Paulus II menegaskan, adalah tanggung jawab mereka (para imam) untuk memimpin ekaristi in persona Christi (dalam Pribadi Kristus), mengupayakan kesaksian diri dan pelayanan komuni, bukan hanya untuk komunitas yang secara langsung ambil bagian dalam perayaan tersebut, melainkan juga untuk Gereja universal yang merupakan bagian dari ekaristi.[35]
Memimpin perayaan ekaristi merupakan tugas utama imam. Oleh karena itu, hendaknya para imam merayakan ekaristi setiap hari. Karena perayaan ekaristi berguna untuk kehidupan imamat, kehidupan rohaninya sendiri, dan demi keselamatan umat.[36] Dalam perayaan ekaristi, imam bertugas membawakan doa-doa pemimpin (doa-doa presidensial),[37] mencakup DSA (doa syukur agung). Doa syukur agung merupakan puncak seluruh ibadat.[38] Selain itu, imam juga bertugas membawakan doa-doa presidensial yang lain. Seperti doa pembuka, doa persiapan persembahan, dan doa sesudah komuni. Doa-doa tersebut disampaikan imam kepada Allah atas nama seluruh umat kudus dan semua yang hadir, dan melalui imam Kristus memimpin himpunan umat.[39]
Imam memiliki wewenang untuk menyampaikan sejumlah ajakan yang tercantum dalam TPE (tata perayaan ekaristi).[40] Dalam perumusannya, imam dapat menyesuaikan dengan daya tangkap umat. Imam juga diperkenankan memberi pengantar singkat pada ritus pembuka, sebelum masuk liturgi sabda, liturgi ekaristi, dan sebelum berkat pengutusan pada ritus penutup. Akhirnya, imam juga harus mendoakan doa-doa pribadi dalam hati pada bagian-bagian tertentu, misalnya doa sebelum pemakluman Injil, doa persiapan persembahan, dan doa sebelum serta sesudah komuni imam.[41]
8. Penutup
Ekaristi menunjukkan kehadiran nyata Kristus dalam rupa roti dan anggur. Ekaristi yang diadakan Kristus pada perjamuan terakhir merupakan yang paling agung diantara sakramen-sakramen lain. Selain itu, ekaristi merupakan pusat hidup Gereja. Sebagai kurban pujian dan syukur, Kristus hadir sebagai imam dan kurban. Ekaristi menghadirkan kembali Perjanjian Baru yang dihasilkan oleh wafat dan kebangkitan-Nya. Mendamaikan kita dengan Allah dan mengantisipasikan pemenuhan kerajaan Allah. Sebagai perjamuan, ekaristi menjadikan kita peserta dalam perjamuan Tuhan sendiri. Mengungkapkan kesatuan kita dengan Gereja. Sebagai kurban dan perjamuan, ekaristi secara berdaya guna melambangkan kurban persembahan diri bagi orang lain, yang merupakan panggilan semua orang Kristiani.
Daftar Pustaka
Huck, Gabe. Liturgi yang Anggun dan Menawan: Pedoman Menyiapkan dan Melaksanakan Liturgi. Penerj.
Komisi Liturgi KWI. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Martasudjita, E. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Osborne, Kenan B. Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas. Penerj. J. Hartono Budi. Yogyakarta: Kanisius,
2008.
Tarigan, Jacobus. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011.
Tarigan, Jacobus. Ritus Kehidupan. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011.
Dokumen-Dokumen Gereja:
Dei Verbum, Ecclesia de Eucharistia, Lumen Gentium, Pedoman Umum Misale Romawi, Presbyterorum Ordinis, Sacramentum Caritatis, dan Sacrosanctum Concilium.
[1] Sacramentum Caritatis, no. 6.
[2] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari E. Martasudjita. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 27-33.
[3] Ekaristi adalah perayaan iman dan bukan sekedar upacara. (lihat, Jacobus Tarigan. Ritus Kehidupan. {Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011}, hlm. 59.)
[4] Ekaristi menghadirkan kemenangan dan kejayaan Kristus atas maut. Oleh karena itu, perayaan ekaristi harus ditata dengan baik. Karena bagi umat di Paroki atau kelompok kategorial, ekaristi adalah pusat kehidupan iman mereka. (lihat, Jacobus Tarigan. Memahami Liturgi. {Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011}, hlm. 207-208.)
[5] Kata “Misa” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Latin (missa). Missa menjadi sebutan yang populer dalam perayaan ekaristi di Gereja Barat (Abad V-VI hingga Konsili Vatikan II, bahkan sampai sekarang). Missa dikaitkan dengan pembubaran jemaat setelah perayaan liturgis selesai. Pada abad IV, missa dikaitkan dengan pembubaran para katekumen sesudah liturgi sabda. Mengingat para katekumen belum diperkenankan memasuki perayaan suci liturgi ekaristi. Asal-usul kata missa muncul dari rumus pembubaran (Ite missa est), “marilah pergi, kita diutus”. Oleh karena itu, kata missa menegaskan segi perutusan. Sesudah mengalami karya penebusan Tuhan yang dikenangkan dan dirayakan dalam perayaan ekaristi, umat diutus untuk menghadirkan karya penebusan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, pelayanan konkret kepada sesama dan dunia. (lihat, E. Martasudjita. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. {Yogyakarta: Kanisius, 2005}, hlm. 30.)
[6] Pemecahan roti merupakan istilah yang menunjuk tindakan bapa keluarga Yahudi pada awal perjamuan makan dalam rangka doa syukur singkat sebelum makan. Istilah pemecahan roti digunakan untuk menyebut seluruh rangkaian perayaan ekaristi. Karena tindakan pemecahan roti melambangkan kesatuan kita dengan Tuhan dan sesama. Dalam Perjanjian Baru, istilah pemecahan roti dikenal dengan baik. Selain itu, istilah pemecahan roti juga dapat ditemukan dalam tulisan Didache dan Santo Ignatius dari Antiokhia pada akhir abad I. Pada abad berikutnya, istilah pemecahan roti tidak digunakan lagi. (lihat, E. Martasudjita. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. {Yogyakarta: Kanisius, 2005}, hlm. 31.)
[7] Istilah perjamuan Tuhan (Dominica Cena) dalam Kitab Suci tulisan abad-abad pertama dihubungkan dengan makna eskatologis perayaan ekaristi. Dalam perkembangan selanjutnya (Gereja Barat dan Gereja Timur), istilah perjamuan Tuhan digunakan dalam hubungannya dengan perjamuan terakhir, tidak sebagai istilah perayaan ekaristi yang dipahami secara keseluruhan. Para reformator abad XVI menggunakan kembali istilah perjamuan Tuhan. Karena alasan biblis dan untuk membedakan dari istilah missa dalam Gereja Katolik yang menekankan kurban dari misa kudus. Gereja Katolik memakai istilah Dominica Cena pada Konsili Vatikan II. (lihat, E. Martasudjita. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. {Yogyakarta: Kanisius, 2005}, hlm. 31-32.)
[8] Kata sacrificium (kurban) dan oblatio (persembahan) pernah digunakan untuk menyebut keseluruhan perayaan ekaristi. Istilah kurban dan persembahan populer karena berkaitan dengan situasi Gereja awal yang menekankan aspek persembahan material yang dibawa umat ke altar. Istilah kurban dan persembahan semakin populer terkait dengan Gereja Abad Pertengahan menyukai misa votiv, misa yang dipersembahkan untuk itensi tertentu. Dalam pandangan teologi modern, dianjurkan menggunakan istilah perayaan ekaristi. Karena segi puji syukur lebih ditekankan dan secara ekumenis lebih baik. (lihat, E. Martasudjita. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. {Yogyakarta: Kanisius, 2005}, hlm. 32-33.)
[9] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. {Yogyakarta: Kanisius, 1996}, hlm. 201.
[10] Dei Verbum, no. 4.
[11] Bersatu dengan Allah adalah tujuan utama dari semua spiritualitas. Ekaristi sakramental merupakan bagian dari spiritualitas. Tetapi spiritualitas tersebut mencapai kedalamannya di dalam ekaristi dunia serta ekaristi hati dan nurani kita. (lihat, Kenan B. Osborne. Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas. Penerj. J. Hartono Budi. {Yogyakarta: Kanisius, 2008}, hlm. 192.)
[12] Dalam liturgi sabda diharapkan umat sungguh mendengarkan bacaan pertama, kedua, dan Injil (Evangeliarium). Perhatian umat diarahkan kepada lektor dan imam. (lihat, Jacobus Tarigan. Ritus Kehidupan. {Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011}, hlm. 59.)
[13] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 57.
[14] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 309.
[15] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 58.
[16] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 309.
[17] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 30, 78.
[18] Jacobus Tarigan. Ritus Kehidupan. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hlm. 59.
[19] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 58.
[20] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 309.
[21] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari E. Martasudjita. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 254-256.
[22] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 278-279.
[23] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 280.
[24] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 283-284.
[25] Pembahasan pada bagian ini disarikan dari Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Penerj. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 272.
[26] Dengan ikut serta dalam kurban ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup umat Kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan perannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkret menampilkan kesatuan umat Allah, yang oleh sakramen maha luhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan. (lihat, Lumen Gentium, no. 11.)
[27] Sacrosanctum Concilium, no. 11.
[28] Perayaan ekaristi hari Minggu seharusnya diikuti oleh semua umat, baik dewasa maupun anak-anak, bersama-sama. (lihat, Jacobus Tarigan. Ritus Kehidupan. {Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011}, hlm. 55.)
[29] Berdasarkan tradisi para rasul yang berasal mula pada hari kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan, dan kemuliaan Tuhan Yesus. (lihat, Sacrosanctum Concilium, no. 106.)
[30] Plinius adalah orang Romawi, negarawan di bawah kaisar Trayanus dan seorang penulis abad I. (lihat, E. Martasudjita. Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. {Yogyakarta: Kanisius, 2005}, hlm. 41.)
[31] Alasan mengapa kami semua berkumpul pada hari Minggu ialah karena hari itu hari pertama: hari saat kapan Allah mengubah kegelapan dan segala sesuatu dan menciptakan dunia. Itulah hari saat kapan Yesus Kristus penyelamat kita bangkit dari antara orang mati. Pada hari sebelum Sabtu orang-orang menyalibkan Dia, dan pada hari sesudah Sabtu, yaitu hari Minggu, Dia menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya dan mengajarkan kepada mereka apa yang kami sampaikan kepada Anda untuk menjadi bahan pertimbangan. (lihat, Apologia I, 67.)
[32] Semua orang harus saling membantu. Setiap anggota jemaat dan keluarga harus berusaha membuat hari Minggu menjadi hari istimewa yang berpusat pada perayaan ekaristi. Para perencana dan pelayan liturgi harus berusaha melaksanakan liturgi sebaik-baiknya. Dengan demikian, semua yang hadir sadar bahwa mereka merayakan ekaristi bersama-sama. (lihat, Gabe Huck. Liturgi yang Anggun dan Menawan: Pedoman Menyiapkan dan Melaksanakan Liturgi. Penerj. Komisi Liturgi KWI. {Yogyakarta: Kanisius, 2001}, hlm. 145.)
[33] Presbyterorum Ordinis, no. 7.
[34] Presbyterorum Ordinis, no. 13.
[35] Ecclesia de Eucharistia, no. 52.
[36] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 19.
[37] Doa-doa presidensial harus dibawakan dengan suara lantang dan ucapan yang jelas, supaya mudah ditangkap jemaat. Selama imam membawakan doa presidensial, tidak diperkenankan adanya doa, nyanyian, dan iringan alat musik. (lihat, Pedoman Umum Misale Romawi, no. 32.)
[38] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 30.
[39] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 30.
[40] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 31.
[41] Pedoman Umum Misale Romawi, no. 33.