Gereja Katolik dan Krisis Ekologi di Flores
Saudara Muda Fransiskan Komunitas Duns Scotus kembali berkumpul dalam forum diskusi. Ini Diskusi mingguan kali ini membahas persoalan krisis ekologi di Flores. Sdr. Johan Setau, OFM sebagai pemateri mengangkat tema “Upaya Gereja Katolik Dalam Mengatasi Krisis Ekologi di Flores,” yang diadakan di ruang pertemuan komunitas Duns Scotus, (15/10/2017).
Dalam pemaparan materinya, Mahasiswa tingkat 3 STFD ini, menjelaskan bahwa sekarang ini, sampah, tambang, ilegal logging, dan pembakaran hutan merupakan persoalan ekologi yang besar terjadi di Flores. Perkembangan IPTEK telah mengubah cara pandang manusia Flores terhadap alam. Begitu banyak kalangan yang mensinyalir bahwa jika tidak ditangani secara intensif, kerusakan lingkungan hidup di Flores akan berdampak buruk bagi aktivitas orang Flores yang pada dasarnya selalu berinteraksi dengan alam.
Lebih lanjut, Sdr. Johan Setau, OFM menegaskan bahwa persoalan kerusakan lingkungan hidup berdampak buruk bagi interaksi atau relasi antara alam dan manusia, sebab bagaimanapun juga relasi keduanya berkaitan erat dengan relasi antara manusia dan Sang Pencipta. Di sinilah manusia dituntut untuk bertanggung jawab atas alam yang diciptakan oleh Allah. Allah menyediakannya untuk manusia dan sekaligus memberi tawaran kepada manusia untuk memperlakukan alam dengan semestinya. Dalam konteks ini, Gereja, baik sebagai suatu lembaga maupun persekutuan umat beriman, dilibatkan untuk bertanggung jawab terhadap alam yang dianugerahkan Allah. Karena pada dasarnyaa, peran gereja sebagai tanda kerajaan Allah adalah menghadirkan kerajaan Allah di dunia.
Selain itu, dalam diskusi yang dimoderatori oleh Sdr. Oggy Ganggus, OFM ini, Sdr. Johan Setau, OFM memberi beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai implikasi praktis Gereja Katolik Flores dalam memperjuangkan keutuhan ekologi. Pertama, membangun kerja sama dengan pemerintah. Upaya tersebut dapat terwujud melalui kerjasama dengan saling mendukung program. “Program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah diupayakan agar diikuti oleh Gereja, sejauh itu masih berada dalam koridor yang benar. Artinya, program pemerintah itu tidak sama sekali kontradiktif dengan misi Gereja yang telah lama digerakkan.” Ungkap putra asal Maggarai ini.
Kedua, bekerja sama dengan pemeluk agama lain. Upaya ini adalah konkretisasi dari semangat dialog antaragama, misalnya dialog karya. Dialog ini adalah sarana yang barangkali mencakup semangat misi dari kepercayaan masing-masing, yang menjunjung tinggi keutuhan alam. Gerakan dibangun sebagai ungkapan solidaritas sekaligus sarana menyatukan perbedaan yang selama ini rawan mengakibatkan konflik.
Ketiga, bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat. Model pergerakan LSM adalah dinamis dan kreatif. Maka keterlibatan Gereja, selain memberi nuansa baru tetapi juga menimba semangat LSM yang mempunyai misi sendiri yang barangkali lebih praktis dan terbuka. Kerja sama ini memungkinkan kedua lembaga ini terbuka dan programnya lebih terorganisasi, sistematis dan tepat sasar.
Keempat, pembinaan tentang kesadaran ekologis. Pembinaan ini merupakan upaya Gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan katekese bersama yang khusus mendalami tema-tema yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Katekese itu harus diwujudnyatakan dalam kehidupan jemaat dengan mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam, misalnya dengan memisahkan sampah organik dan non organik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan menanam tanam-tanaman bunga dan pohon.
Dalam sesi diskusi, satu point penting yang perlu diperhatikan Gereja Katolik Flores adalah autokritik. Tindakan ini, dalam penjelasan Sdr. Johan Stau, OFM menjadi sangat penting sebagai tindakan sebelum gereja bersuara dan bertindak keluar.
“Akhir kata, melihat krisis yang disebabkan oleh manusia dan dampak yang ditimbulkan, Gereja ikut terlibat dan berperan aktif dalam menghadapi permasalahan lingkungan tersebut. Setiap orang Kristen (Katolik) diharapkan mengelolah lingkungan sesuai dengan peruntukkannya, tidak hanya menggunakan saja tanpa memperhatikan dampak negatifnya di kemudian hari. Di samping itu, jangan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi memperhatikan dampaknya bagi orang banyak dan anak-cucu. Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab Gereja terlebih hamba Tuhan dalam melihat persoalan lingkungan ini dengan iman, jangan dengan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok.” Tegas sdr. Johan Setau, OFM sebagai kata-kata penutup rangkaian diskusi. ***