Upaya Gereja Katolik dalam Mengatasi Krisis Ekologi di Flores
Pendahuluan
Sampah, tambang, ilegal logging, dan pembakaran hutan merupakan persoalan ekologi yang besar terjadi di Flores sekarang ini. Perkembangan IPTEK telah mengubah cara pandang manusia Flores terhadap alam. Begitu banyak kalangan yang mensinyalir bahwa jika tidak ditangani secara intensif, kerusakan lingkungan hidup di Flores akan berdampak buruk bagi aktivitas orang Flores yang pada dasarnya selalu berinteraksi dengan alam. Hal yang hendak ditegaskan bahwa persoalan kerusakan lingkungan hidup berdampak buruk bagi interaksi atau relasi alam dan manusia, sebab bagaimanapun juga relasi keduanya berkaitan erat dengan relasi antara manusia dan Sang Pencipta.
Di sinilah diungkapkannya suatu segi bahwa manusia dituntut untuk bertanggung jawab atas alam yang diciptakan oleh Allah. Allah menyediakannya untuk manusia dan sekaligus memberi tawaran kepada manusia untuk memperlakukan alam dengan semestinya. Dengan demikian, dalam konteks ini, Gereja, baik sebagai suatu lembaga maupun (dan terutama), sebagai persekutuan umat beriman, dilibatkan untuk bertanggung jawab terhadap alam yang dianugerahkan Allah.
Sudah sejak lama masalah lingkungan hidup dimasukkan ke dalam agenda perhatian Gereja. Paus Paulus VI, dalam suratnya kepada Maurice Strong pada kesempatan Konferensi Bangsa-Bangsa tentang lingkungan hidup manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1972, menegaskan bahwa manusia dan lingkungan alamiahnya saling terpaut dan perlunya pembatasan dalam menggunakan kekayaan alam yang sama.[1]
Beberapa tahun kemudian Paus Yohanes Paulus II menetapkan dan mengajukan sejumlah ajaran sosial baru yang berhubungan dengan alam dan perlindungan lingkungan hidup. Ajaran-jaran sosial gereja ini secara eksplisit mengungkapkan bahwa Gereja Katolik mempunyai tanggung jawab etis untuk memelihara lingkungan sebagai ciptaan Tuhan. Di sini sangat tampak bahwa sejarah mengungkapkan situasi sesungguhnya bahwa Gereja telah lama mengantisipasi persoalan-persoalan yang akan dihadapi umat manusia sejak saat itu hingga sekarang ini.
Peran Gereja pada dasarnya adalah menghadirkan kerajaan Allah di dunia. Dalam konteks ini, Gereja sebagai tanda kerajaan Allah dibutuhkan, melalui perannya dalam mengajarkan dan mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan dan melindunginya dari kerusakan serta memperlakukannya sebagaimana kita bertindak terhadap ciptaan yang lain. Amanat Allah ini menjadi tugas manusia sejauh manusia itu sungguh menyadari tanggung jawabnya sebagai anak Allah. Bertolak dari pernyataan ini, situasi zaman sekarang telah menunjukkan sikap kurang tanggungjawab manusia terhadap amanat Allah itu. Ini yang menjadi keprihatinan Gereja saat ini, terutama Gereja di Flores.
Berdasarkan hal-hal yang telah saya jelaskan di atas, sesungguhnya makalah ini akan membahas upaya Gereja Katolik dalam mengatasi krisis ekologi yang terjadi di Flores. Terutama dari masalah sampah, tambang, ilegal logging, dan pembakaran hutan yang telah merusak lingkungan hidup masyarakat Flores. Tujuannya adalah untuk menyadarkan warga Gereja Katolik Flores, baik Rohaniwan maupun Awam bahwa lingkungan hidup Flores hari demi hari mengalami kemerosotan, untuk itu perlu upaya untuk mengatasi krisis itu sebelum lingkungan hudup Flores hancur parah. Metode yang akan saya gunakan untuk mendukung makalah ini adalah dengan menggunakan sumber pustaka.
Amanat Ilahi: Dasar Gereja Katolik Melindungi Lingkungan Hidup[2]
Allah menciptakan manusia dan segala makhluk dengan kasih-Nya (bdk. Kej 1). Keyakinan ini menyadarkan kita bahwa dunia dengan segala isinya sungguh dikehendaki oleh Allah, baik adanya. Allah adalah Sang Pencipta. Dialah “awal dan akhir, asal dan tujuan seluruh alam ciptaan.” Semua makhluk, dengan segala keanekaragaman dan keunikannya, menggambarkan keagungan dan kemahakuasaan Allah (bdk. Mzm 104:14).
Di antara segala ciptaan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang secitra dengan Allah (bdk. Kej 1:27). Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain. Manusia adalah rekan kerja Allah dalam menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan seluruh alam semesta ini. Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara dan mengolah dengan bijak-sana alam semesta ini serta berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di antara se-mua ciptaan (bdk. Kej 2:15). Oleh karena itu, manusia harus mengelola bumi dengan segala isinya ini dalam kesucian dan keadilan. Manusia tidak berhak memboroskan dan merusak alam serta sumber-sumbernya dengan alasan apapun.
Kehadiran Allah di dunia dalam diri Yesus Kristus ingin menyatakan bahwa kasih-Nya amat besar terhadap manusia dan semua ciptaan. Allah tidak hanya mencipta, tetapi juga melindungi dan memelihara. Allah adalah Kasih (bdk. 1Yoh 4:16) dan kasih itu tidak hanya ditujukan kepada manusia tetapi kepada semua makhluk yang telah Ia ciptakan. Solidaritas dan kepedulian Allah terhadap ciptaan-Nya dalam peristiwa penjelmaan menjadi pegangan manusia untuk memperlakukan ciptaan yang lain secara baik. Sehubungan dengan hal itu, manusia harus melepaskan diri dari berbagai kelekatan seperti kekayaan dan kekuasaan (bdk. Mat 6:19-21), yang sering dicapai dengan mengorbankan sesamanya atau makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Karya penebusan Allah dalam diri Yesus Kristus juga ingin menjangkau semua ciptaan. Dengan darah salib Kristus, segala sesuatu di bumi dan di Surga diperdamaikan oleh Allah (bdk. Kol 1:19-20). Rasul Paulus dengan tegas menyatakan bahwa karya penyelamatan Allah tidak hanya untuk manusia yang berdosa tetapi meliputi segala makhluk dan seluruh alam semesta. Oleh karena itu, sikap pemberian diri yang disertai dengan kerendahan hati manusia terhadap yang lain sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus kristus (bdk. Flp 2:1-11) diperluas untuk semua makhluk ciptaan.
Upaya Gereja Katolik dalam Mengatasi Krisis Ekologi di Flores
Persoalan utama ekologi[3] saat ini memiliki efek luas dan mendalam bagi manusia umumnya dan Gereja Katolik Flores khususnya. Efek tersebut berciri paradoksal. Artinya, disatu pihak terjadi akumulasi kekayaan pada manusia, yang berarti peningkatan kemakmuran ekonomi berkat kemampuan manusia mengolah alam; tetapi di lain pihak, pengolahan alam secara eksploitatif telah menyebabkan pemiskinan, pelanggaran HAM, kekerasan, dan kerusakan alam luar biasa dan tak terpulihkan.[4] Kerusakan ekologi akibat eksploitasi demi memperoleh kekayaan merupakan wujud ketamakan manusia serta bukti kelekatan manusia pada semangat konsumerisme.
Di daerah Manggarai misalnya, telah terjadi eksploitasi alam secara masif dan sistemik yang disebabkan oleh masuknya industri pertambangan. Selain kerusakan alam yang terjadi, klaim politik juga amat kentara ditampilkan oleh segelintir penguasa tamak yang mengakibatkan keresahan publik. Dua hal ini perlu dikritisi oleh Gereja sebagai tumpuan iman serta harapan umat. Pelbagai fakta telah menunjukkan betapa lingkungan hidup itu membutuhkan perlindungan, sebab di kalangan horizontal masyarakat sekarang telah terjadi fenomena ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah. Titik tolak rasa tidak puas itu adalah karena kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil, tetapi justru memberi peluang kepada para investor pertambangan untuk mengeruk bumi yang secara langsung merugikan manusia.
Bagaimana Gereja berperan? Gereja pada dirinya sendiri mempunyai misi untuk membangun, memelihara dan menyempurnakan lingkungan yang dianugerahkan Allah. Dalam konteks misi, kita harus membuat suatu agenda baru untuk menggerakkan misi di dunia modern, karena berkhotbah dan menyuarakan seruan profetis saat ini perlu dikaitkan dengan isu sosial atau lingkungan hidup. Gereja yang tidak memberikan respon terhadap perkembangan zaman pada dasarnya adalah Gereja yang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Justru misi Gereja Katolik di dunia sekarang ini adalah berani melakukan tindakan nyata dengan menghadirkan Tuhan.
Kerajaan Allah yang tampak adalah kerajaan Allah yang berani bertindak, bukan hanya berkata-kata. Tindakan itu pun selalu berlandaskan kasih dan bukan atas dasar iming-iming kekuasaan demi akumulasi kekayaan sebagaimana yang terjadi di pelbagai tempat di Flores ini. Dari hasil pembacaan saya dari media informasi, baik cetak maupun elektronik, ada beberapa hal yang dilakukan sebagai implikasi praktis Gereja Katolik Flores dalam memperjuangkan keutuhan ekologi sebagai berikut.
Membangun Kerja Sama dengan Pemerintah
Upaya membangun kerja sama dapat terwujud dalam hal saling mendukung program. Program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah diupayakan agar diikuti oleh Gereja, sejauh itu masih berada dalam koridor yang benar. Artinya, program pemerintah itu tidak sama sekali kontradiktif dengan misi Gereja yang telah lama digerakkan. Contohnya adalah bahu-membahu menolak tindakan-tindakan ketidakadilan sebagaimana yang telah dilakukan selama ini di daerah Flores-Lembata terlebih khusus Manggarai serta di daerah Lembata dan daerah Larantuka yakni bersama-sama menolak pertambangan. Upaya ini berjalan dengan baik, tetapi belum dipraktikkan di semua daerah.
Bekerja Sama dengan Pemeluk Agama Lain
Upaya ini adalah konkretisasi dari semangat dialog antaragama. Dialog antaragama dalam hal ini dialog karya. Dialog karya ini adalah sarana yang barangkali mencakup semangat misi dari kepercayaan masing-masing, yang menjunjung tinggi keutuhan alam. Gerakan dibangun sebagai ungkapan solidaritas sekaligus sarana menyatukan perbedaan yang selama ini rawan mengakibatkan konflik.[5]
Bekerja Sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
Model pergerakan LSM adalah dinamis dan kreatif. Maka keterlibatan Gereja, selain memberi nuansa baru tetapi juga menimba semangat LSM yang mempunyai misi sendiri yang barangkali lebih praktis dan terbuka. Kerja sama ini memungkinkan kedua lembaga ini terbuka dan programnya lebih terorganisasi, sistematis dan tepat sasar. Contoh: hari, bulan atau tahun-tahun perayaan khusus yang berkaitan dengan lingkungan hidup dikemas dalam sebuah acara yang membangkitkan semangat “berekologi” bagi semua orang, khususnya umat Katolik. Misalnya tanggal 5 Juni adalah hari lingkungan hidup sedunia.
Pembinaan tentang Kesadaran Ekologis.
Pembinaan ini merupakan upaya Gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan katekese bersama yang khusus mendalami tema-tema yang berkaitan dengan lingkungan hidup.[6] Katekese itu harus diwujudnyatakan dalam keseharian hidup jemaat dengan mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam, misalnya dengan memisahkan sampah organik dan non organik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan menanam tanam-tanaman bunga dan pohon.
Upaya-upaya kerja sama yang dilakukan Gereja ini, tentu bukan jaminan utama untuk mewujudkan lingkungan hidup yang utuh. Pada dasarnya, upaya dari dalam diri Gereja sendiri sangat penting. Peran Gereja tidak terbatas pada tataran elit, tidak dimanipulasi oleh kajian-kajian teoretis berupa dogma, dan lain sebagainya, tetapi termanifestasi dalam tindakan konkret dan tepat sasar. Peran kesadaran dan kepekaan adalah sebuah nilai yang barangkali mengatasi semua upaya. Gereja yang sadar, peka dan responsif adalah dia yang mau secara ikhlas menghadirkan kerajaan Allah bagi umat manusia di dunia.
Dalam konteks Flores, kerusakan alam yang terjadi pertama-tama dilakukan atas dasar ketamakan, keegoisan dan ketidakpekaan terhadap realitas lingkungan di sekitar. Autokritik mesti dilakukan oleh Gereja sendiri sebelum dia bersuara dan bertindak ke luar. Gereja berperan karena mempunyai misi yang jelas yakni menjadi tanda dan saksi kerajaan Allah. Nah, perjuangan sekarang adalah bagaimana misi itu dipadukan dengan mentalitas konsumerisme, egoisme, hedonisme dan apatis.
Penutup
Krisis ekologi merupakan ancaman dunia yang sangat mematikan. Gereja terpanggil menyuarakan suara nabiahnya dalam menangani krisis tersebut, baik itu melalui pengajaran, khotbah maupun tindakan konkrit. Melalui keikutsertaan gereja tersebut, diharapkan setiap orang terutama warga Gereja sadar akan pentingnya hubungan alam dengan (dan) dirinya sendiri. Krisis ekologi tidak akan dapat teratasi secara otomatis, melainkan hal ini sangat membutuhkan kesadaran dan tanggung jawab seluruh pihak. Setiap orang harus membudayakan hemat energi sesuai kebutuhan saja, dengan demikian energi atau sumber daya alam akan terpelihara dengan baik. Menurut Mahatma Gandhi, manusia harus mengikis sikap egoisme dan sikap konsumeristis, karena bumi ini hanya cukup menyediakan kebutuhan semua orang namun tidak cukup menyediakan untuk ketamakan manusia. Sehingga dengan pemahaman yang demikian keutuhan ciptaan akan dapat kita pelihara dengan baik.
Akhir kata, melihat krisis yang disebabkan oleh manusia dan dampak yang ditimbulkan, Gereja (baik hamba Tuhan dan seluruh jemaat) ikut terlibat dan berperan aktif dalam menghadapi permasalahan lingkungan tersebut. Manusia bukan hanya memanfaatkan ciptaan Tuhan saja, tetapi juga melestarikannya dan menggunakan alam sesuai dengan fungsinya. Setiap orang Kristen (Katolik) diharapkan mengelolah lingkungan sesuai dengan peruntukkannya, tidak hanya menggunakan saja tanpa memperhatikan dampak negatifnya di kemudian hari.
Di samping itu, jangan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, tetapi memperhatikan dampaknya bagi orang banyak dan anak-cucu. Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab Gereja terlebih hamba Tuhan dalam melihat persoalan lingkungan ini dengan iman, jangan dengan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok.
Daftar Pustaka
Aman, Peter C.. “Gereja Katolik Manggarai dan Persoalan Ekologi.” dalam Iman, Budaya & Pergumulan Sosial, ed. Martin Chen dan Charles Suwendi. Jakarta: Obor, 2012
Baghi, Felix. “Etika Ekologi yang Biosentris.” dalam Pertambangan di Flores-Lembata Berkah atau Kutuk?, ed. Alex Jebadu, dkk. Maumere: Ledalero, 2009
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001
Konferensi Waligereja Indonesia. Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius, 2012
[1] William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 62—63
[2] Konferensi Waligereja Indonesia, Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 39—40
[3] Ekologi berasal dari kata Bahasa Yunani ‘oikos’ yang berarati rumah tempat tinggal atau lingkungan hidup atau ruang hidup dan ‘logos’ yang berarti kata atau ilmu. Jadi, ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal-balik antara makhluk-makhluk hidup dengan lingkungan hidup tempat tinggal mereka sendiri. Di dalam ekologi kita melihat bahwa bumi memgalami proses dinamis yang melibatkan manusia dan makhluk-makhluk hidup dalam interaksi yang saling mempengaruhi sehingga terwujud suatu keseimbangan. Lingkungan tempat berlangsungnya proses dinamis itu disebut ekosistem. Ekosistem adalah aturan atau tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi dan saling bergantung (interdependen). Bumi ini dapat dipandang sebagai ekosistem besar yang di dalamnya terdapat ekosistem kecil. Jadi secara ringkas dapat dikatakan semua ekosistem meliputi interaksi antara lingkungan biotik (tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia) dan lingkungan abiotik (tanah, air udara batu, dll). Bumi dengan segala ekosistem yang ada, hari demi hari mengalami kerusakan. Kerusakan itu seringkali disebabkan pengelolaan ekosistem yang salah oleh manusia. Inilah yang disebut dengan ketidakadilan ekologis, yang berujung pada krisis ekologi itu sendiri.
Lih. Felix Baghi. “Etika Ekologi yang Biosentris.” dalam Pertambangan di Flores-Lembata Berkah atau Kutuk?, ed. Alex Jebadu, dkk (Maumere: Ledalero, 2009), 357
[4] Peter C. Aman. “Gereja Katolik Manggarai dan Persoalan Ekologi.” dalam Iman, Budaya & Pergumulan Sosial, ed. Martin Chen dan Charles Suwendi (Jakarta : Obor, 2012), 283
[5] Konferensi Waligereja Indonesia, Keterlibatan Gereja, hlm. 49.
[6] William Chang, Moral Lingkungan, hlm. 70