Dialektika: Percakapan Dialogis yang Mengikuti Aturan Tertentu
Pengantar
Dialektika (bahasa Yunani: hedialektike) adalah kata sifat yang dibendakan dari kata kerja dialegomai (turunan dari dialego, bentukan kata depan dia/lewat/melalui dan kata kerja legein/berbicara). Dialektika dekat dengan kata dialog (salah satu bentuk infinitif lainnya adalah dialegesthai, bercakap-cakap). Namun, tidak semua percakapan adalah dialektika. Yang disebut dialektika yaitu percakapan dialogis yang mengikuti aturan tertentu. Seni atau ilmu dialektika berawal dari penarikan pembedaan-pembedaan yang ketat. Dialektika dimulai oleh Zeno, Sokrates, dan Plato. Peranan dialektika, interpretasi, dan penghargaan atas kegunaannya sangat bervariasi. Hal ini terjadi karena perbedaan posisi atau pendapat setiap filsuf. Dialektika pada mulanya menunjuk pada debat dengan tujuan menolak argumen lawan. Secara umum, seorang dialektikawan adalah orang yang tidak membiarkan sesuatu tidak dipersoalkan. Selanjutnya akan diuraikan pandangan beberapa filsuf mengenai dialektika.
Dialektika Sokrates (470—399 SM): Maieutike
Sokrates berdialektika dengan metode maieutike, di mana ia berperan mirip dukun beranak yang menyemangati si ibu yang hamil tua untuk melahirkan bayi pengetahuannya sendiri. Metode dialog Sokrates memeriksa argumen mitra wicara sedemikian rupa sehingga setiap opini dapat ditunjukkan keterbatasannya. Metode sanggahan (elegkhos) menjadi ciri khas dialektika Sokrates. Lewat dialektika, Sokrates mengajar orang mengerti bahwa ia tidak boleh percaya begitu saja pada suatu opini. Ia harus berusaha menyanggah setiap opini, menghancurkan pretensi setiap opini yang merasa paling benar. Menunjukkan bahwa opini dan belum sampai pada pengetahuan (episteme). Dengan Sokrates, dialektika menjadi seni dialog yang menuntut kita melampaui opini. Dialektika Sokrates mengarahkan orang menuju pengetahuan atau sains (episteme).
Dialektika Platon (428—348 SM): Episteme
Platon mendefinisikan dialektika sebagai proses berpikir dalam dua tahap. Pertama, sunagoge atau proses “mengumpulkan” berbagai hal yang dikelompokkan dalam jenis (spesies) forma intelligibel tertentu. Dari satu konsep ke konsep lain, proporsi ke proporsi lain, dikumpulkan untuk menemukan prinsip tertingginya (sebuah idea). Dari bawah, penimbangan akan benda-benda indah yang riil dibawa naik menuju keindahan dalam dirinya sendiri. Kedua, diaresis atau proses kebalikannya dimana orang memilah-milah sebuah forma intelligibel ke dalam berbagai kelompok, sampai ke jenis paling kecil yang tidak bisa dibagi lagi.
Dialektika Aristoteles (384—322 SM): Doksografi (Menyaring Opini)
Aristoteles melihat dialektika sebagai sebuah prosedur di mana kita memeriksa dan menyaring pendapat umum (doksografi) yang beredar saat kita hendak membahas sesuatu. Dalam bukunya yang berjudul Topiques, Aristoteles menunjukkan empat kegunaan dialektika. Pertama, dialektika adalah gimnastik intelektual yang bagus. Kedua, dialektika membuat orang mampu memeriksa opini orang lain. Ketiga, dialektika berguna membantu orang memiliki pengetahuan yang bersifat filosofis. Keempat, dialektika sangat berguna bagi sains (pengetahuan). Selanjutnya, Aristoteles memberikan alasan mengapa perlu memeriksa opini para pendahulunya. Pertama, menghindari kesalahan yang dilakukan para pendahulu. Kedua, mengumpulkan ide-ide yang sudah baik. Selain itu, Aristoteles menunjukkan manfaat merujuk pengarang lain. Pertama, supaya bisa belajar tentang sesuatu yang belum kita lihat. Kedua, supaya setelah mengkajinya menjadi lebih percaya diri dengan apa yang ditemukan sebagai pemikirannya sendiri.
Dialektika Stoik (IV SM—II M): Demi Keutamaan
Kaum Stoik meyakini bahwa dialektika bersifat etis. Hanya orang bijak yang bisa menguasai ilmu dialektika. Dialektika adalah pengetahuan yang erat kaitannya dengan hidup berkeutamaan, membantu orang menggapai ataraxia (situasi tanpa gangguan emosi, ketenangan batin). Zenon menggambarkan proses pengetahuan manusia dalam tiga bagian. Pertama, membuat representasi yang tepat. Kedua, pengiyaan (prehensio). Ketiga, comprehensio (representasi yang melekat atau phantasia kataleptike). Seorang stoik yang terlatih akan menghindarkan diri jatuh dalam emosi akibat representasi yang salah.
Dialektika Hegel (1770—1831): Gerak Pikiran
Hegel menggambarkan dialektika sebagai arus berjalannya pikiran. Pikiran berjalan terus untuk mencapai kategori kesatuan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hegel menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada hanya ada karena merangkumi tiga momen. Pertama, identitas dengan dirinya sendiri. Kedua, perbedaan dengan dirinya sendiri. Ketiga, kesatuan dari identitas dan perbedaan tersebut. Dalam proses dialektis, apa yang disangkal (dinegasi) tidak seluruhnya dihancurkan. Hanya disangkal pada bagian yang salah, sementara pada bagian yang benar tetap disimpan (dipertahankan) untuk diangkat menuju kebenaran yang lebih tinggi.
Schopenhauer (1788—1860): Dialektika Eristik Waton Suloyo
Schopenhauer melihat dialektika sebagai manifestasi kehendak untuk menang. Dalam hal ini, teknik berargumentasi mempunyai tujuan memenangkan pendapat pribadi. Sama sekali tidak peduli dengan kebenaran objektif yang diperdebatkan. Menurut Schopenhauer, alasan manusia berdebat eristik yaitu karena pada dasarnya kodrat manusia menyimpang. Manusia membuka mulut tanpa menimbang apa yang hendak dikatakan. Lidahnya lebih cepat beraksi daripada pikirannya. Dalam hal ini, ada dua modus (cara) dan dua metode yang digunakan untuk meruntuhkan argumen lawan. Pertama, menggunakkan argumentum ad rem (menunjukkan argumen lawan tidak sesuai dengan halnya yang diperdebatkan). Kedua, menggunakan argumentum ad hominem atau ex concessis (menunjukkan bahwa argumen lawan tidak cocok dengan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan pernyataan atau diri si pembicara). Sedangkan dua metode yang digunakan untuk mengalahkan lawan adalah penolakan langsung dan penolakan tidak langsung.
Penutup
Para filsuf mempunyai interpretasi atas dialektika yang bervariasi. Sokrates melihat dialektika sebagai sarana untuk memeriksa argumen atau opini, mencapai pengetahuan sejati. Platon melihat dialektika sebagai metode mencapai pengetahuan tertinggi di mana jiwa melepaskan diri dari opini umum. Aristoteles menjadikan dialektika sebagai kajian historis. Hegel melihat dialektika sebagai gerak pikiran itu yang selalu menegasi (menindak). Berkat dialektika filsafat bersifat kritis. Namun dialektika tidak lepas dari sisi negatif. Metode ini bisa diturunkan sekedar menjadi debat eristik. Sebagaimana ditunjukkan Schopenhauer, dialektika bisa menjadi metode waton suloyo (asal membantah, jangan mau kalah).