MENUNGGU PELANGI
Senja menyimpan sejuta keindahan. Keindahannya semakin semarak kala pelangi hadir menemaninya. Ayahku selalu terpukau setiap kali senja bersanding dengan pelangi menghiasi cakrawala. Ia sangat terpikat dengan keindahan pelangi. Namun, pelangi tak selalu hadir saat hari telah senja. Dan Ayah tidak peduli dengan itu. Ia tetap setia menungguinya.
Setiap hari ia selalu menerawang senja dengan secangkir kopi pahit ditangannya berharap sang pelangi akan datang. Ia akan tersenyum ketika sang pelangi menampakan dirinya. Namun, ia akan duduk tertunduk lesu tat kala sang pelangi tak muncul. Ia akan kembali masuk ke rumah kala malam menjemput rembulan yang menguburkan jejak sang senja. Ini telah menjadi ritual baginya. Namun, Ayahku bukanlah seorang peramal. Ia hanya seorang penikmat keindahan pelangi. Pelangi telah menjadi bagian hidupnya. Baginya pelangi adalah guru kehidupan. Pelangi itu berbeda tapi satu. Ia telah tersihir oleh keindahan warnanya. Ada warna merah, hijau, biru, ungu, namun berpadu menjadi satu yang membuatnya mampu memancarkan keindahan. Indah bukan karena sama tetapi karena perbedaan. Perbedaaan membuatnya dikagumi. Pelangi telah mengajarkan dan mengungkapkan kepadanya bahwa perbedaan itu bukanlah halangan untuk tampil indah. Perbedaan tak perlu disamakan, tapi diterima sebagai kekayaan. Hidup harusnya seperti itu.
“Bagaimana pun nak, merajut hidup bagaikan pelangi itu sangatlah sulit untuk diwujudkan,” keluhnya kepadaku setiap kali aku mendengarkan ceramah tentang pelanginya. Dan dia selalu melanjutkannya dengan kalimat kesukaannya tentang perbedaan itu sambil memincingkan matanya yang membuat kulitnya yang keriputan itu semakin terlihat jelas, “bukan masalah kecil, melainkan bagaimana kita harus hidup”. Bagiku kalimat Ayah ini sangat tepat untuk menggambarkan hidup dalam perbedaan. Membangun hidup harmonis dalam perbedaan bukanlah masalah kecil. Perbedaan tak jarang membawa perpecahan. Perpecahan akan menjadi duri tajam yang mencabik keutuhan. Dan ketika keutuhan tidak terjaga maka kerutuhan tak terelakan. Tepat disitulah perbedaan itu menjadi sebuah masalah besar. Namun, tentang bagaimana kita hidup dalam perbedaan, cukuplah kita belajar dari sang pelangi. Setiap warna dalam diri pelangi tidak mendominasi satu sama lain. Masing-masing dari mereka memberi diri yang terukur sehingga dalam perbedaan itu ada kesatuan warna yang harmonis. Bukan keseragamanlah yang membuat dari dirinya terpancar keindahan melainkan karena kesatuan dalam keberagaman.
Filosofi pelanginya membuat aku mengidolakannya. Aku selalu menghampirinya dan bersimpuh di bawah kakinya untuk menikmati pelangi. Aku telah menjadi penikmat pelangi sama seperti Ayah. Kegilaannya pada pelangi telah menjadi kegilaanku. Aku selalu berharap hidup akan seindah pelangi. Ya, indah karena perbedaan. Makna pelangi Ayah semakin memikatku, mengikatku dan menerabas pintu hatiku. Kini aku selalu setia bersamanya menunggu pelangi. Kami selalu bersanda gurau kala kami menikmati keindahan senja sambil menunggu kedatangan pelangi. Namun, satu hal yang pasti bahwa Ayah tak lupa bertanya kepadaku setiap kali aku menunggu pelangi bersamanya. Dan ia selalu menutupinya dengan dongeng-dongengnya yang tak pernah habis.
***
Sore ini kami berdua kembali menikmati senja berharap sang pelangi datang menyapa. Tak lama kemudian ayah menghadapku dan tersenyum. Senyumnya berarti akan ada pertanyaan. Aku selalu siap untuk mendengarnya. “Nak, siapakah kamu nak?” tanya Ayah padaku sambil menikmati kopi di bale-bale depan rumah. Begitulah Ayah. Ia selalu melemparkan pertanyaan yang menurutku aneh. Dan kali ini, pertanyaannya membuat aku tersentak bak disambar petir. “Bukankah aku anaknya? Bukankah tetangga dekat rumahku selalu memuji wajahku yang tampan seperti ayah? Mengapa ia sekarang bertanya seperti itu? Apakah ia memiliki rahasia tentang aku? Bagaimana harus kujawab?” aku membatin. “Jawablah nak, aku ingin jawaban darimu,” desak Ayahku. “Yap…aku adalah seorang anak laki-laki yang memiliki wajah tampan seperti Ayah,” jawabku sambil melemparkan senyum padanya. “Bukan nak,” katanya singkat. “Ok! aku adalah seorang pribumi dan bukan kafir tetapi seorang yang taat beragama,” lanjutku mencoba menebak jawaban yang diinginkannya. “Jawabanmu itu juga tidak tepat nak, kamu tinggal di Indonesia yang memiliki banyak suku, agama, ras dan budaya di dalamnya, kamu Indonesia nak, ya…kamu adalah Indonesia. Dan jika kamu menyadari itu kamu dapat menerima orang lain yang berbeda denganmu, nak!” jelas Ayah padaku.
“Nak, aku akan menceritakan satu kisah padamu,” katanya lagi sambil mengelus kepalaku. “Baik Ayah, ceritakanlah lagi semua dongengmu, aku ingin mendengarkannya, aku ingin lagi mendengar tokoh baik meraih kemenangan dan tokoh jahat akan mengalami kekalahan dan binasa,” jawabku bersemangat. Ayah selalu menasihatiku dengan dongeng-dongengnya. Menurutnya dongeng sangat baik untuk mengajar ketika aku bertanya mengapa ia selalu mendongengiku. “Bukan nak, aku tidak akan menceritakan dongeng seperti itu untukmu tapi, aku akan menceritakan kisah nyata padamu untuk kali ini,” katanya sambil menatap senja. Aku melihat raut mukanya yang serius. Kerut wajahnya yang tengah berpikir keras untuk mengingat kisah itu memperlihatkan umurnya yang tidak muda lagi. Lalu kutimang tangan kekarnya yang mengelus rambutku dan menghadap wajahnya untuk mendengar kisah darinya. “Ceritakanlah Ayah!” bisikku padanya.
“Begini nak, suatu masa di negeri ini ada seorang pemimpin. Aku hanya menyebutnya pemimpin dan tidak menyebutnya penguasa karena ia bukan seorang yang gila kekuasaan. Adalah penguasa hanya haus akan kekuasaan dan tak punya rasa bersalah kala meraup uang rakyat. Para penguasa sangat lihai bermain dengan kekuasaan yang mereka miliki untuk memuaskan nafsu keserakahan mereka. Dan ia lain dari penguasa, nak. Ia memang seorang pemimpin yang selalu memimpin rakyatnya dengan bijak dan adil. Bukan seperti para penguasa egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Hatinya bak permata. Ia menyayangi yang tersisih dan merawat yang papa. Ia tanpa rasa takut menelanjangi kebobrokan para penguasa yang kelakuannya tak kalah sama bandit. Rakyat sangat menyayanginya, nak. Ia menjadi terkenal bukan hanya di negeri sendiri tapi juga sampai di negeri seberang. Rakyat memujanya dan mendesak para penguasa meneladani dirinya. Ia seorang yang tegas. Sikap tegasnya membuat rakyat segan terhadap dirinya, namun menghasilkan kegetiran bagi para penguasa yang licik. Mereka membencinya. Kamu harus tahu nak, hidup sebagai orang baik itu tak jarang dimusuhi. Para penguasa yang egois itu merasa terusik. Mereka merasa kenikmatan mereka dibatasi, kesenangan mereka dihalangi. Satu hal yang ada dalam benak mereka adalah menjatuhkannya. Mereka dengan licik memasang jerat untuknya. Liciknya penguasa tidak kalah sama kelicikan seorang penipu ulung. Kamu tahu nak? Jerat yang mereka pasang adalah ras. Mereka tak tanggung-tanggung menyuguh rakyat dengan minuman dusta tentang ras yang merayu-rayu itu, nak,” ceritanya padaku.
“Apakah mereka berhasil, Ayah?” tanyaku kepadanya. “Ya, mereka berhasil. Jerat itu membuat ia dibenci oleh rakyatnya, meski pun ia telah mengorbankan diri untuk rakyatnya, nak. Mereka memasukankannya ke dalam kebengisan terali besi yang membuatnya tidak dapat bergerak lagi,” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
Tindakan para penguasa yang diceritakan Ayah membuat aku teringat pada nafsu kebinatangan pada diri manusia. Terkadang manusia bermain sebagai binatang dengan baik dalam relasi dengan sesamanya. Ketika ia merasa keberadaannya terancam, maka nafsu kebinatangannya menampakan diri. Ia akan bergerak bagaikan rubah untuk menjerat mangsanya, meraung bagaikan harimau untuk menakut-menakuti musuhnya dan mencakar bagaikan singa untuk mencabik mangsanya. Seperti itulah manusia. Tak segan menelan sesamanya kala kenyamanannya terusik. Dan para penguasa itu telah bermain dengnan baik sebagai binatang sehingga mampu menjatuhkan si pemimpin.
“Yah! Akankah semuanya itu berakhir?” bisikku padanya sambari dalam hati meratapi nasib si pemimpin. “Entahlah nak, aku pun tidak tahu kapan semuanya berakhir,” jawabnya singkat. Aku melihat air matanya mulai mengalir di kerutan pipinya.
Aku menatap Ayah. Matanya sembab. “Apakah kamu masih ingat Pancasila, nak?” tanyanya. “Iya Ayah! aku masih ingat semuanya. Tentang lima silanya. Tentang Bhineka Tunggal Ika-nya. Semuanya masih terukir indah dalam sanubariku,” jawabku dengan yakin pada Ayah. “ Kamu harus tahu, sekarang ini Pancasila adalah gemboran semua orang tetapi urusan sedikit orang. Tapi, aku bangga padamu nak. Jagalah apa yang telah engkau ketahui tentang Pancasila itu. Hiduplah seperti Pancasila nak. Kamu adalah Pancasila, aku juga, dan aku berharap orang lain juga menyadari bahwa mereka adalah Pancasila. Pancasila membuat kita dapat mewujudkan hidup seperti pelangi itu, nak. Hidup berbeda namun satu yang dapat memancarkan keindahan,” kata Ayah sambil memancarkan secercah senyuman dari bibirnya.
***
Tak terasa senja telah pergi dan malam sudah tiba. Hanya cahaya terang yang dicurahkan rembulan yang menerangi kami. Dan sore ini pelangi tak datang menyapa kami yang tetap setia menungguinya. Aku dan Ayah telah menghabiskan sore ini untuk bercerita. Cerita yang memilukan hati. Aku merasakan kepedihan hati Ayah kala ia bercerita. Kini, aku mengetahui alasan Ayah yang selalu merindukan pelangi. Ayah berharap pelangi bukan hanya menghiasi cakrawala tetapi juga menghiasi kehidupan.
Hembusan angin malam yang dingin menyadarkan aku dan Ayah dari lamunan kami masing-masing. Ayah meraih tanganku dan mengajakku untuk kembali ke rumah. “Marilah nak! Senja telah pulang. Meski pun sore ini pelangi tidak datang, janganlah berhenti untuk menungguinya sampai ia datang, masih ada hari esok,” kata Ayah sambil menarik tanganku. Kami pun kembali masuk ke dalam rumah diiringi nyanyian binatang malam. Satu hal yang aku tahu bahwa Ayah tidak pernah menyerah menunggu pelangi sampai pelangi itu mewarnai hidup.
Dalam kesunyian malam, aku terus memikirkan kata-kataa Ayah saat mengajakku untuk kembali ke rumah hingga kesedihan menyelimutiku. Dan kesedihan itu semakin mencekikku kala aku menyadari betapa sulitnya merajut dan mewujudkan keharmonisan dalam perbedaan itu. Namun, aku berjanji akan berjuang untuk memetik pelangi itu dari cakrawala. Itulah jalan hidupku. Dan malam ini aku berharap pelangi itu akan datang dan menyapaku. Aku ingin merasakannya. Aku ingin memeluknya hingga aku akan membawanya tuk aku hadiahkan bagi bangsaku.