top of page

Menjadi Saudara dan Dina


Gardianat Spoleto yang hanya terdiri dari komunitas Duns Sotus mengadakan acara Gardianat. Acara ini diadakan bertepatan dengan pesta Beato Yohanes Duns Scotus sebagai nama pelindung komunitas. Oleh karena itu, perjumpaan ini dimulai dengan refleksi bersama yang bertema mengenai bagaiman menjadi Saudara dan Dina. Refleksi tersebut dipimpin oleh Sdr. Thomas Ferry S OFM di ruangan rekreasi komunitas Duns Sotus, Rabu (8/11/2017).

Dalam pemaparannya, Sdr. Ferry mengulas bagaimana memaknai persaudaraan dan kedinaan itu dalam konteks kehidupan bersama dan kehidupan yang lebih luas. Untuk membahas tema ini, Saudara ini merujuk pada pendasaran biblis dan pengalaman hidup St. Fransiskus Sendiri.

Dalam ulasannya, Sdr, Ferry membuat distingsi antara kemiskinan dan kedinaan. Kemiskinan merupakan suatu keadaan sedangkan kedinaan adalah suatu sikap atau diposisi pribadi untuk menempatkan diri lebih rendah daripada orang lain.

“Karena kedinaan itu sebagai pilihan maka kita harus bertanggungjawab terhadap pilihan itu melalui usaha dengan mewujudkan pilihan itu dalam tindakan. Sebab pilihan itu selalu berjalan bersama dengan konsekuensinya,” ungkapnya.

“Fransiskus sendiri memilih menjadi dina, pertama-tama terinspirasi dari injil, dan karena itu Fransiskus mengarahkan seluruh hidupnya kepada injil. Hal tersebut ditemukan dalam surat paulus kepada jemaat di Filipi 2:6-11 yang mengunkapkan sikap kedinaan Yesus adalah dengan merendahkan dirinya menjadi manusia. Pilihan itu juga bisa dikatakan sebagai sebuah kidung perendahan diri Yesus. Dalam Yoh 13:1-7 juga dikatakan Yesus merendahkan dirinya dengan membasuh kaki para murid-Nya. Dengan tindakan tersebut, Yesus meminta kita untuk bersedia membasuh kaki saudara lain. Selain itu juga dalam Mat 18:2-3, Yesus meminta kita untuk menjadi seperti anak kecil. Suatu sikap berpasrah kepada Allah,” kata sudara yang sekarang tinggal di komunitas provinsialat ini.

Selain itu juga, sdr. Ferry menegaskan makna dari kata persaudaraan. Bagaimana mewujudkan persaudaran itu. Sdr. Ferry menggali semangat Fransiskus dalam karya-karya Fransiskus sendiri.

Ada bebrapa kutiban yang menegaskan makna persaudaran itu. “Kamu semua adalah saudara (AngTBul VI). Oleh karena itu, menjadi pemimpin berarti siap menjadi pelayan bagi saudaranya (AngTBul IV). Pemimpin itu tidak dimaknai sebagai “prior” melainkan sebagai minister, hamba atau pelayan bagi saudaranya. Karena seorang saudara dipilih bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani,” ungkapnya lagi.

“Fransiskus sendiri menyamakan dirinya dengan mengambil sikap menjadi sama seperti Kristus yaitu menjadi hamba. Namun bagaimana menunjukkan supaya menjadi hamba yang baik itu? Menjadi hamba yang baik berarti memiliki Ketaatan sempurna kepada pimpinan (Petuah III), tidak gusar dan gelisah karena orang lain benar-benar hidup tanpa milik (Petuah XI), Saudara yang bisa merawat dirinya dengan baik (Petuah X),” tegasnya

Kemudian Sdr. Ferry menegaskan lagi bahwa para saudara hendaknya tidak menjadi gusar dengan kemampuan yang dimiliki oleh saudara lain. “Kita kadang menjadi gusar kepada saudara lain karena kita hanya memikirkan kepentingan diri kita sendiri. Dan yang perlu dicari oleh seorang hamba Tuhan adalah hanyalah kemuliaan Tuhan, bukan kemuliaan dirinya sendiri. Seorang hamba yang baik tidak boleh merampas kemuliaan Tuhan karena semua yang kita miliki adalah pemberian Tuhan maka semuannya itu harus dikembalikan kepada Tuhan. Selain itu juga menjadi hamba Tuhan itu harus sabar dan rendah hati, Karena kesabaran itu dapat dilihat ketika mendapat perlakuan yang tidak semestinya (Petuah XII), tidak iri hati kepada pekerjaan Tuhan atas diri orang lain (Petuah XVII),” katanya lagi.

Dengan demikian di akhir refleksinya, Sdr. Ferry menegaskan ungkapan Fransiskus ketika menasihati para saudaranya supaya berhati-hati menggunakan kepandaian, tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan diri sendiri melainkan kepandaian itu hendaknya digunakan untuk memuliakan Tuhan. Dan akhirnya Sdr. Ferry menegaskan tiga esensi menjadi seorang hamba, yaitu tidak mengerti bukan berarti bodoh, tidak mengetahui sama sekali melainkan sikap bergantung pada Allah, tidak memiliki (miskin dihadapan Allah), dan tidak menguasai (ketaatan).

Setelah refleksi bersama ini, dilanjutkan dengan perayaan ekaristi dan akhirnya semua cara gardianat dan perayaan pesta Beato Y. Duns Scotus ditutup dengan makan malam bersama.

Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
We Post For Sharing
bottom of page