Memento Mori
Memento mori. Mungkin diantara kita sudah pernah mendengar istilah ini. Di kampung saya (Flores, Bajawa), ada kelompok "mentomori", semacam paguyuban umat yang khusus bergotong royong dalam acara kematian. Mungkin mirip dengan RKUK (Rukun Kematian Umat Katolik) di Keuskupan Bogor. Tapi saya ingin kembali lagi dengan istilah atau lebih tepatnya semboyan "memento mori" ini.
Memento mori merupakan semboyan hidup yang sangat akrab dengan masyarakat Eropa sejak ribuan tahun yang lalu. Semboyan ini berasal dari bahasa Latin. Memento mori berarti "Ingatlah akan kematian(mu)". Nah, kalo kita melacak akar semboyan ini, Plato (pada sekitar 2500 tahun yang lalu) telah menuliskan tentang pentingnya mengingat kematian dalam karyanya berjudul Faidon, sebuah catatan dialog antara dirinya dengan Socrates.
Dalam salah satu bagian dialog tersebut, Socrates mengatakan "Satu-satunya tujuan mempraktik-kan filsafat adalah mengingat kematian dan menghadapi kematian dengan cara terbaik". Ajaran ini kemudian dikembangkan dalam aliran filsafat stoa yang ikut mempopulerkan semboyan memento mori ini.
Tujuannya adalah bukan untuk menakut-nakuti seseorang, tetapi menginspirasi orang untuk mencari hal yang paling penting dalam hidup ini, untuk menjadi pribadi dengan versi terbaik yang kita bisa agar hidup yang sementara ini bisa bermakna. Kata orang bijak, siapa yang menyadari kematiannya, dapat sungguh-sungguh menjalani kehidupannya.
Dalam Kitab Suci, ada banyak cerita mengenai pentingnya mengingat kematian. Saya memilih dua bacaan yang dibacakan pada tanggal 23 November 2019: 1Mak. 6:1-13; dan Luk. 20:27-40. Kedua bacaan Kitab Suci ini mengusung satu tema penting dalam iman kristiani yaitu, kematian. Dalam bacaan pertama, dikisahkan raja Antiokhus sangat cemas karena kematian dirasa telah dekat. Ia cemas, karena ia belum siap. Ia cemas karena telah berbuat keji terhadap Yerusalem dan semua daerah lain; merampas barang dan perkakas berharga, lalu menyerang, menghancurkan, menindas daerah lain.
Ia tidak tenang. Entah apa yang merasukinya? Boleh jadi Kecemasan eksistensial, yaitu Kecemasan yang sangat besar dan membuatnya berpikir apa yang paling penting bagi hidup ini. Kecemasan tersebut, membawanya pada satu pertanyaan mendasar tentang hidup; untuk apa saya hidup di dunia saat ini? Ia merasa kuasa dan hartanya sudah tidak begitu penting lagi. Untuk apa hidup ini?
Pertanyaan di atas seolah terjawab dalam bacaan Injil. Melalui perumpamaan yang digunakan Yesus untuk meladeni pertanyaan kaum saduki, Yesus sedikit menyingkap misteri kehidupan setelah kita semua mati. Tentu, Yesus tahu tentang surga karena ia berasal dari surga, satu-satunya yang turun dari surga. Ia datang membawa janji sekaligus harapan. Manusia akan memperoleh hidup yang abadi dan penuh kebebasan, termasuk bebas dari nafsu seperti para malaikat.
Visi kehidupan kekal yang dinyatakan Yesus tersebut dapat menjadi jawaban untuk apa kita hidup dan sekaligus menegasakan bahwa hidup ini tidak absurd, tidak sia-sia atau tanpa makna. Hidup saat ini adalah hidup sementara untuk mempersiapkan hidup yang sesungguhnya, yaitu hidup kekal saat orang bahagia karena memandang wajah Allah, beristirahat dalam damai (RIP=Requiestat in Pacem).
Dengan demikian, orang perlu hidup dengan sebaik mungkin, menjalankan apa yang paling berguna dalam hidup, Sehingga pada akhirnya seperti Paulus, ia berani mengatakan: Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Mengakhiri renungan ini saya mengutip satu sajak terkait kematian, sebuah sajak terjemahan:
Kematian laksana anak-anak yang riang pulang sekolah.....
Suatu hari lonceng akan berbunyi,
Suatu hari hatiku akan berdebar-debar,
Seiring dengan teriakan, sekolah usai,
Pelajaran selesai, aku berlari pulang.